Kenapa Klub Kecil Sulit Juara Liga Champions?

spot_img

Setiap kali musim Liga Champions Eropa bergulir, selalu ada tim kecil yang mencuri perhatian. Mereka datang tanpa beban, bermain dengan penuh semangat dan sesekali, dengan satu keajaiban yang datangnya dari Tuhan, mengalahkan tim raksasa. Contohnya Qarabag yang sudah menaklukkan Benfica musim ini.

Pertanyaan menggelitik pun muncul: bisakah tim-tim kecil menjuarai Liga Champions? Jika pertanyaan itu diajukan sebelum milenium baru, tentu sangat mungkin. Tapi kalau pertanyaan tersebut dicarikan jawabannya sekarang, hampir pasti tidak mungkin. 

Tim-tim kecil mungkin bisa mengalahkan tim besar, melenggang ke babak gugur, tapi untuk juara, entar dulu. Dan di situlah misterinya. Kenapa klub kecil sulit sekali menjuarai Liga Champions? Di video ini kita akan bedah kenapa mimpi agung itu begitu sulit diwujudkan.

Terakhir Porto, Setelah Itu Tidak Ada

Untuk memperjelas konteksnya yang sedang kita bicarakan, mari menengok ke belakang. Kira-kira 20 tahun lalu, tepatnya pada musim 2003/04, sebuah klub kecil di kota yang luasnya kurang dari 50 kilometer persegi, menjuarai Liga Champions untuk kali pertama. Klub itu adalah Porto dengan aktornya, Jose Mourinho.

Sebagian dari kalian mungkin marah jika Porto disebut tim kecil. Tapi percayalah, di tengah gumpalan tim-tim raksasa musim itu, Porto hanyalah remah-remah. Ia ditemani klub kecil lain, AS Monaco di final. Monaco bukan hanya kecil, tapi klub yang sampai mencari suaka ke Prancis untuk terlibat dalam sepak bola.

Bagi Porto, itu final kedua mereka, sedangkan buat AS Monaco inilah pertama kalinya mereka ke final. Karena status keduanya bukan tim raksasa, siapa pun yang menang akan menetap dalam ingatan penggemar bola lebih dari dua dasawarsa.

Kemenangan Porto musim itu, kelak, terbukti menjadi kemenangan terakhir tim kecil di ajang Liga Champions. Malahan tak ada lagi tim kecil yang berada di final Liga Champions sejak 2004. Silakan kalian melihat sendiri daftarnya. Mulai musim 2004/05, tim yang melenggang ke final selalu berasal dari lima liga top Eropa.

Era 1970-1990an

Musim 2003/04 pada gilirannya menjadi tapal batas tim-tim kecil menjuarai Liga Champions. Sebelum musim itu Liga Champions adalah kompetisi yang sulit ditebak pemenangnya. Apalagi di era 1970-an hingga 1990-an. Contoh saja nih, pada tahun 1979, Nottingham Forest menjuarai Liga Champions. Sesuatu yang mereka ulangi lagi pada musim berikutnya.

Forest saat itu memang salah satu kekuatan Inggris. Hanya saja final 1979 adalah final Liga Champions pertama Forest. Kala itu Inggris belum banyak mengirim wakilnya ke final.  Hanya Liverpool, Manchester United, dan Leeds United yang pernah ke final sebelum Forest.

Memasuki era 1980-an, tim kecil masih sanggup menjuarai Liga Champions. Bahkan pernah terjadi dua tahun beruntun, yakni tahun 1982 dan 1983. Aston Villa dengan Peter Withe-nya menaklukkan Bayern Munchen pada 1982.

Hamburger SV di final 1983 membekuk Juventus yang diperkuat Michel Platini. Sang pencetak gol di final ini, Felix Magath, kelak membawa Wolfsburg menjuarai Bundesliga pada 2009.

Era 1980-an boleh dibilang eranya tim kecil juara. Hanya berselang dua musim setelah Hamburger SV juara, tim kecil menjuarai Liga Champions lagi. Ya, pada musim 1985/86 saat Steaua Bucharest mengalahkan Barcelona di final dengan hanya mengandalkan pemain lokal.

Memasuki tahun 1990, sepak bola Eropa juga dikejutkan dengan keluarnya Red Star Belgrade sebagai juara Liga Champions. Dua tahun berselang, giliran Olympique Marseille, wakil Prancis pertama menjuarai Liga Champions.

Final yang Juga Variatif

Bukan hanya juaranya yang nggak ketebak, yang masuk final Liga Champions era itu sangat variatif. Ketika Nottingham Forest juara untuk pertama kalinya itu saja, mereka menghadapi Malmo yang seumur-umur belum pernah ke final Liga Champions. Lalu, kalian mengenal Panathinaikos, bukan?

Panathinaikos pernah ke final pada tahun 1971. Mau tahu yang mengejutkan lagi? Leeds United dan Saint-Etienne, ya, Saint-Etienne, ternyata lebih dulu mencicipi final Liga Champions ketimbang Liverpool. Leeds ke final 1975 dan Saint-Etienne di tahun berikutnya, sedangkan Liverpool baru ke final Liga Champions musim 1976/77.

Masih ada yang mengejutkan lagi? Ada. Partizan Belgrade, Stade de Reims, hingga Eintracht Frankfurt mendahului tim-tim Inggris ke final Liga Champions. Tim Inggris pertama yang ke final Liga Champions adalah Manchester United pada tahun 1968, sedangkan tiga tim tadi sudah ke final sebelum itu.

Sekarang pertanyaannya, mengapa pada era itu, klub-klub kecil bisa menjuarai Liga Champions? Kenapa pada era itu pula, banyak tim kecil melangkah ke final?

Tidak Memakai Format Fase Grup

Jawabannya karena format turnamen. Sejak pertama kali digelar pada tahun 1955 hingga memasuki 1990-an, Liga Champions tidak memakai format fase grup. Fase grup baru diperkenalkan pada musim 1991/92. Pada era tersebut, Liga Champions menggunakan format fase gugur. Hal itu membuat tim mana pun bisa tereleminasi dalam satu pertandingan.

Inilah yang memungkinkan lebih banyak kejutan. Bisa saja tim besar keok dari tim kecil. Selain format, di era tersebut jumlah peserta Liga Champions tidak banyak, yaitu 16 tim pada 1955 dan 32 tim pada 1980 hingga 1990. Khusus yang kedua, bahkan tidak mesti selalu 32 tim yang berpartisipasi.

Hanya juara liga yang berhak berpartisipasi dalam turnamen. Ini mengurangi jumlah klub papan atas yang terlibat. Semakin sedikit klub papan atas terlibat, semakin besar peluang klub lain di luar liga papan atas terlibat. Hal ini berbeda dengan Liga Champions modern, di mana setiap liga bisa mengirim lebih dari satu wakil, dan itu biasanya tim raksasa semua.

Tragedi Heysel

Selain soal teknis ada pula faktor di luar teknis. Tragedi Heysel pada 29 Mei 1985 ternyata juga turut memengaruhi. Hal itu karena setelah tragedi tersebut, UEFA membanned seluruh tim Inggris di kompetisi Eropa. Dan itu bukan cuma semusim, tapi lima musim. 

Alhasil, sejak 1985/86 hingga musim 1989/90 tidak ada tim Inggris di Liga Champions. Tim Inggris yang langganan ke final sebelumnya, seperti Liverpool dan Manchester United terpaksa hanya menerima kabar Liga Champions. Ini memberi kesempatan tim-tim kecil tidak pernah diunggulkan untuk juara.

Lihat saja, saat pertama kali pelarangan itu diberlakukan, Steaua Bucharest bisa merengkuh gelar. Padahal sebelumnya, tidak pernah ada wakil Rumania di final. Kesempatan juga dimanfaatkan oleh Porto yang meraih Liga Champions pertamanya pada 1987.

Finansial yang Utama

Kembali ke pertanyaan awal. Kenapa sekarang tim kecil malah sulit juara? Jawabannya karena format. Format fase grup yang dipakai sejak 1991/92, memungkinkan keterlibatan peserta lebih banyak. Karena peserta semakin banyak, pertandingan juga kian banyak. Tim yang berpartisipasi juga dipaksa memainkan lebih banyak laga.

Tim kecil tak mampu melakukan itu. Apalagi tim kecil kerap kali tidak memiliki finansial yang kuat. Pendapatan mereka, baik dari sponsor, siaran TV, hingga penjualan pemain, tak sebanyak tim-tim raksasa. Karena pendapatan sedikit, tim kecil kesulitan membangun skuad yang sustain, solid, dan kuat dalam mengarungi musim.

Kenapa itu perlu? Karena dalam semusim, tim tidak hanya bertarung untuk Liga Champions saja, tapi juga kompetisi domestik. Hanya tim yang punya finansial kuat dan kedalaman skuad yang bisa bertahan dan, melangkah jauh sampai menjadi juara. Dan itu seringnya tim-tim besar atau tim yang berasal dari liga top.

Lho, Porto gimana? Porto yang juara pada 2004 adalah hal lain. Sulit dijelaskan. Tapi satu yang mungkin jadi alasan: Jose Mourinho. Kala itu, taktik bung Jose terbilang baru di sepak bola. Banyak tim lain belum menemukan obat penawarnya.

Liga Champions: Yang Kaya Makin Kaya

Mirisnya, perkara finansial ini yang sekarang dikejar oleh UEFA. Kalau boleh jujur, format baru yang dikenal sebagai format Swiss membuat Liga Champions kurang kompetitif dan hanya akan menguntungkan tim-tim besar. Sekalipun membuka kesempatan klub yang sebelumnya kurang dikenal seperti Pafos terlibat.

Kenapa? Karena dalam format baru, tim-tim kecil tersebut hanya akan menjadi santapan tim-tim besar. Mereka seolah hanya akan dijadikan lumbung poin bagi tim besar. Dengan begitu, tim yang kaya akan tetap kaya, sementara tim yang melarat makin nelangsa.

Langkah UEFA untuk menaikkan hadiah Liga Champions musim 2025/26, justru akan membuat kondisi lebih parah. Bukan hanya tim kaya akan tetap kaya, tapi malah makin kaya. Betul bahwa setiap tim yang lolos ke fase liga, termasuk tim seperti Pafos akan mendapatkan 18,62 juta euro. Mereka juga akan mendapatkan 2,1 juta euro untuk tiap kemenangan di fase liga.

Namun, apakah tim kecil bisa memetik kemenangan jika lawannya tim-tim mapan? Ambil contoh, Kairat Almaty akan menghadapi Arsenal. Jelas 99% Arsenal yang menang, dan mereka akan ambil uangnya. Kalaupun Kairat sanggup menahan imbang Arsenal, mereka hanya akan mendapat 700 ribu euro.

Tim kecil juga sulit merangsek ke papan atas. Mereka hanya akan berkutat di papan bawah. Dan itu membuat mereka hanya mendapatkan 275 ribu euro. Sementara tim raksasa macam Liverpool yang berpeluang finis lebih tinggi, bonusnya amat jauh lebih banyak, yaitu 9,9 juta euro.

Alasan-alasan tadi membuat tim kecil sulit juara. Ketika semua orientasinya pada uang, jangan harap Liga Champions akan menghasilkan kejutan, di mana tim kecil seperti Qarabag, keluar sebagai juara.

Sumber: BBC, Quora, ESPN, SkySports, BBC, beinSPORTS

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru