Skor imbang 1-1 kala menghadapi tim promosi macam Malut United FC kemarin, jelas jadi hasil yang mengecewakan bagi Bali United. Apalagi laga itu dimainkan di hadapan ribuan publik sendiri. Hasil itu juga yang membuat Serdadu Tridatu tertahan di urutan kelima klasemen sementara Liga Indonesia.
Peringkat lima memang tidak terlalu buruk, apalagi jika itu di Inggris. Setidaknya, masih dapet jatah Eropa. Tapi ini Indonesia bung. Bagi klub yang pernah back to back juara seperti Bali United, peringkat lima adalah periode yang buruk. Karena biasanya, di bawah asuhan Stefano Cugurra, Bali tak pernah keluar dari tiga besar.
Jika di akhir musim Bali tetap berada di urutan kelima, maka itu akan jadi catatan terburuk Bali di bawah asuhan Teco. Lantas, apa yang membuat Bali jadi seperti ini? Selengkapnya akan kita bahas.
Daftar Isi
Back To Back
Meski berstatus sebagai klub siluman, Bali United ini bisa dibilang RB Leipzig-nya Indonesia. Klub yang membeli lisensi klub lain, tapi tetap dikelola dengan baik. Baik secara manajemen, fasilitas, pengembangan usia dini, dan tentunya secara finansial. Dengan dana yang melimpah dari Pieter Tanuri, Bali menjelma jadi klub elit.
Selain mendatangkan pemain-pemain bintang Eropa seperti Nick van der Velden, Eber Bessa, Melvin Platje, dan sebagainya, Bali juga membangun fasilitas kelas wahid. Tak seperti Bhayangkara FC yang justru pindah-pindah homebase, Bali United menetap di Pulau Dewata dan membangun sport center-nya sendiri. Di situ ada lapangan latihan, mess, gym, bahkan cafe.
Dengan fasilitas mumpuni, Bali United juga membuat akademinya sendiri. Banyak pemain-pemain hebat yang lahir dari akademi Bali United Academy. Sebut saja seperti Made Andhika Wijaya, Kadek Agung Widnyana, hingga Kadek Arel. Dengan dikelola oleh manajemen yang baik, Bali pun tumbuh sebagai klub yang berprestasi di Liga Indonesia.
Prestasi terbaiknya dicatatkan pada tahun 2019 dan musim 2021/2022, di mana mereka jadi juara Liga Indonesia secara beruntun, atau istilah kerennya back to back bersama Stefano Cugurra. Loh, la terus musim 2019/20 dan 2020/21 nya ke mana? Dibatalkan, karena waktu itu Indonesia sedang dilanda pandemi.
Di era itu, skuad Bali United sangat mewah. Berisikan pemain-pemain terbaik di eranya. Contohnya saja seperti Stefano Lilipaly, Ilija Spasojevic, Fadil Sausu, Irfan Bachdim, Ricky Fajrin, hingga Fahmi Al-Ayyubi. Pemain yang membuat Bali rela mengeluarkan Rp229 juta untuk memboyongnya dari Persela Lamongan.
Krisis Finansial
Namun itu dulu, setelah juara pada musim 2021/22, Bali United belum bisa mengulangi prestasi itu lagi. Ada beberapa faktor yang mendukung kemerosotan performa Bali United di persepakbolaan Indonesia. Salah satunya adalah masalah finansial. Hal itu bahkan diakui owner klub, Pieter Tanuri. Dilansir Detik Bali, Pieter menjelaskan, semua ini tak lepas dari kekuatan finansial Bali yang sedang menurun.
Padahal secara kasat mata, Bali United adalah salah satu klub “sultan”di Indonesia. Di jersey saja, terpampang banyak sponsor. Dengan banyaknya sponsor, ada anggapan bahwa Bali United tak kekurangan finansial. Nyatanya, Pieter mengaku, dirinya masih mensubsidi klub dengan angka yang fantastis, yakni 30-40 miliar setiap tahunnya.
Dikutip dari Bali Express, Pieter bahkan terang-terangan menyampaikan bahwa Bali United lebih sering ruginya ketimbang untung. “Saya sampai hari ini belum profit. Karena belanja pemain dan pendapatan tak seimbang,” katanya. Pieter pun menambahkan bahwa Bali United bisa rugi sampai Rp 50 miliar per tahun.
Maka dari itu, akhir-akhir ini Bali United lebih berani melepas pemain-pemain penting yang performanya masih bagus. Sebut saja seperti Stefano Lilipaly dan Nadeo Argawinata yang dilepas ke Borneo FC. Atau melepas Brwa Nouri ke Dalkurd tahun 2023 dan Eber Bessa ke Alverca tahun 2024.
Gagal Temukan Penyerang Gacor
Finansial yang tak kunjung stabil, membuat Bali United menurunkan standar transfer mereka. Lihat saja di bursa transfer paruh musim ini. Mereka hanya merekrut dua pemain baru. Boris Kopitovic dari Tampines Rovers dan Jaimerson dari PSBS Biak. Pada musim lalu, kondisinya bahkan lebih ngenes lagi.
Bali United hanya mampu mendatangkan satu pemain lokal, yakni Lutfi Kamal dari PSIS Semarang. Selain finansial, Stefano Cugurra merasa mayoritas pemain bagus di Indonesia sudah memiliki kontrak dengan tim lain. Jadi para pemain tersebut tidak bisa bergabung dengan Bali United.
Finansial yang cetek juga menyebabkan Bali United sulit mendapatkan penyerang berkualitas. Seperti yang kita tahu, Bali tak pernah kehabisan penyerang gacor di setiap musimnya. Melvin Platje, Sylvano Comvalius, Ilija Spasojevic, hingga Stefano Lilipaly jadi bukti jelinya Bali United dalam menjaring penyerang top.
Sementara akhir-akhir ini, Bali kerap keliru dalam mendatangkan pemain. Contohnya seperti Jefferson dan Everton. Untuk musim ini saja, pencetak gol terbanyak Bali United dipegang oleh pemain sayap, Privat Mbarga dengan 9 gol. Nah, Boris diharapkan bisa jadi jawaban dari masalah lini depan.
Pertahanan Buruk
Begitu pun dengan lini bertahan. Pertahanan Bali United terlalu mudah untuk dibongkar. Hal ini pun diakui oleh Stefano Cugurra. Salah satu pertandingan terburuk adalah saat kalah 3-1 dari Persik Kediri Januari kemarin. Teco menyebut lemahnya pertahanan menjadi biang keladi kekalahan.
Sebetulnya, pertahanan yang buruk sudah tersaji sejak musim lalu. Musim 2023/24, Bali kebobolan 43 gol. Itu lebih buruk dari PSIS Semarang, bahkan PSM Makassar yang hanya finis di urutan 11 klasemen akhir. Pekerjaan rumah ini nyatanya belum bisa diperbaiki dengan maksimal oleh Teco. Musim ini, Bali sudah kebobolan 25 gol.
Sementara menurut website Liga Indonesia Baru, Teco merasa jumlah pemain yang absen juga mempengaruhi. Entah itu cedera atau akumulasi kartu. Per Januari kemarin, setidaknya ada delapan pemain yang tak bisa dimainkan, termasuk Elias Dolah dan Mitsuru Maruoka. Absennya tuh gantian. Ketika yang satu kembali, yang lain gantian absen. Sedangkan kedalaman skuad Bali United sudah tak semewah dulu.
Keretakan Ruang Ganti
Masalah internal juga tak bisa dihindari oleh Bali United. Melansir Bola.com, tahun lalu sempat ada keretakan di ruang ganti. Kabarnya, Privat Mbarga sempat protes dan meragukan profesionalitas para pemain Bali United. Menurutnya, para pemain tidak berjuang lebih keras untuk tampil lebih baik.
Komentar pedasnya itu bahkan sempat dipublikasikan melalui media sosial instagramnya. Sontak, sindirannya itu langsung mendatangkan reaksi beragam dari pihak suporter. Dirasa telah membuat kegaduhan, Privat pun menutup kolom komentarnya. Dan akhirnya, unggahan tersebut langsung dihapus.
Mungkin terlihat sepele, tapi aksi yang dilakukan Privat menandakan bahwa ruang ganti Bali United sebetulnya tidak baik-baik saja. Bisa saja, selama ini manajemen Bali United pandai menyembunyikan itu.
Usangnya Taktik Teco?
Stefano Cugurra memang pelatih yang berjasa bagi Bali United. Tapi, di sisi lain, keberadaan Teco justru jadi sebuah paradoks. Sebab, semakin lama Teco di Bali, semakin terbaca pula taktiknya. Hal itu diungkapkan oleh eks pelatih PSBS Biak, Emral Abus yang sempat mengalahkan Bali United dengan skor 2-0 pada putaran pertama Liga Indonesia musim 2024/25.
Emral paham bahwa permainan Bali United era Teco berpusat pada gelandang. Maka dari itu, Emral mematikan pergerakan gelandang Bali, Mitsuru Maruoka dengan memasang pemain Jepang lainnya, Takuya Matsunaga sebagai penjaga. Alhasil, permainan Bali tak bisa berkembang dan gagal mengejar ketertinggalan.
Bali United tampaknya perlu melakukan evaluasi, terutama soal skema dari Teco. Masih ada sisa waktu untuk berbenah. Jika memecat Teco adalah solusi yang tepat, maka ia harus legowo. Barangkali Teco bisa meresapi kutipan terkenal dari film Batman: The Dark Knight yang berbunyi, “You either die a hero or live long enough to see yourself become the villain”.
Sumber: LIB, Bola.com, Detik, Bali Express