Sepotong Kisah Menyakitkan Sang Maestro Rui Costa

spot_img

Rui Costa adalah salah satu primadona di masa kejayaan Serie A. Saking hebatnya, ia sampai dijuluki Il Maestro. Dirinya juga merupakan bagian dari generasi emas Portugal bersama nama-nama seperti Luis Figo, Vitor Baia, hingga Paulo Sousa.

Namun, di balik kepiawaiannya, Rui Costa merupakan pemain yang sangat sentimentil. Pemain yang membuat legenda sepak bola Portugal, Eusebio, terpukau ini memiliki hati kaca. Banyak momen tangis yang ia lalui selama karirnya, baik karena harus meninggalkan klub hingga kekalahan menyakitkan di laga final. Lantas, seperti apa kisah mantan pemain Fiorentina tersebut?

 

Rui Costa dan Benfica

Hubungan Rui Costa dengan Benfica bisa terangkum oleh sebuah gol di laga persahabatan. Pada Agustus 1996, Fiorentina melawat ke Estadio da Luz untuk melawan Benfica. Rui Costa, pemain yang dua musim sebelumnya pergi dari Benfica, mencetak sebuah gol setelah berhasil melewati dua rekannya, Helder Cristovao dan Dimas Teixeira.

Setelah mencetak gol, ia langsung menjauh dari gawang. Ternyata, pria ini menangis. Ia bersedih karena mencetak gol ke gawang Benfica, klub yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Bahkan sejak usianya masih sangat belia.

Rui Costa sendiri adalah warga lokal Lisboa. Ia lahir di Amadora, sebuah daerah yang berjarak tempuh sekitar seperempat jam dari pusat kota. Sejak kecil, ia memang seorang fans Benfica. Oleh karenanya, kepergiannya dari Estadio da Luz akan sangat ditangisinya.

Sejak usia 5 tahun, ia sudah bergabung ke tim futsal bernama Damaia Ginásio Clube. Anak sekecil itu sudah mampu membuat Eusebio, legenda sepak bola Portugal dan Benfica, terpukau. Sebab, di usianya yang sekecil itu, Rui Costa memiliki skill di atas rata-rata anak-anak seumurannya.

Tanpa basa-basi, akhirnya Rui Costa kecil langsung diangkut ke akademi Benfica. Mimpinya menjadi bagian dari Benfica akhirnya langsung jadi kenyataan. Ia selalu masuk di semua kelompok umur Benfica. Kemudian, pada tahun 1990, setelah bertahun-tahun menaiki setiap jenjang pendidikan di Benfica, Rui Costa mendapat promosi ke tim senior.

Namun, ia tak langsung mendapatkan tempat di skuad tim utama. Pada musim pertamanya menjadi pemain pro, Rui Costa dipinjamkan terlebih dahulu ke AD Fale. Kesempatannya di masa peminjaman dimanfaatkan betul oleh Rui Costa untuk menambah jam terbang. Alhasil, Carlos Queiroz memanggilnya ke daftar skuad Portugal untuk Piala Dunia Junior 1991.

Bersama dengan Luis Figo, Rui Costa berhasil memenangkan ajang tersebut. Penampilan apiknya bersama Carlos Queiroz itulah yang akhirnya membuat Benfica meyakinkan dirinya untuk mulai memakai jasa penggemar beratnya itu. Bermain di Estadio da Luz hingga musim panas 1994, Rui Costa berhasil memberikan satu trofi Primera Liga dan satu trofi Taca de Portugal, alias Piala Liga.

Setelahnya, Rui Costa pergi ke Florence untuk bergabung bersama Fiorentina, meski sebenarnya juga diminati oleh Johan Cruyff di Barcelona. Kepergiannya dari Benfica membuatnya bersedih. Ia sebenarnya tak ingin bermain di luar Estadio da Luz. Namun, demi menyelamatkan klub kesayangannya dari kebangkrutan, akhirnya Rui Costa setuju. 

Kelak, Rui Costa akan kembali lagi ke Benfica pada musim panas 2006 dan bermain selama dua musim untuk kemudian pensiun di sana. Setelah pensiun, Benfica merekrutnya sebagai direktur olahraga. Puncaknya, pada 2021, Rui Costa naik menjadi presiden klub.

 

Kesuksesan di Fiorentina dan Perpisahan yang Menyakitkan

Karir Rui Costa di Fiorentina sebenarnya berjalan dengan manis. Di Artemio Franchi, ia dipuja, dicintai, dan yang paling penting, meraih trofi. Meskipun selalu gagal meraih scudetto. Ia berhasil meraih dua Coppa Italia dan sebuah Supercoppa Italiana untuk La Viola.

Duetnya dengan Gabriel Omar Batistuta adalah hal ikonik yang akan selalu dikenang dari Fiorentina. Rui Costa adalah rahasia di balik keganasan Batistuta. Layaknya pada pemain nomor 10 di masa itu, Rui Costa adalah pengatur serangan dan penyuplai bola kelas jempolan. Didukung dengan insting mematikan Batistuta, keduanya menjelma menjadi mesin gol yang berbahaya.

Etos saudade khas orang Portugal di masa lalu, nampaknya melekat kuat di jiwa Rui Costa. Saudade itu sendiri bisa dimaknai secara sederhana sebagai sesuatu yang melankolis. Hal ini pula yang akan membuat Rui Costa cepat jatuh hati kepada masyarakat Florence dan mencintai Fiorentina.

Pada final Coppa Italia terakhirnya bersama Fiorentina pada tahun 2001, seorang fans turun ke lapangan untuk ikut merayakan kemenangan bersama Rui Costa. Jelas, petugas keamanan menyeretnya semena-mena. Namun, karena kecintaannya terhadap segala sesuatu yang ada di Florence, Rui Costa balik memaksa petugas keamanan untuk melepasnya dan membiarkannya kembali ke bangku penonton dengan aman.

Musim panas 2001, Rui Costa mengulangi pengalamannya di Benfica, Fiorentina menumbalkannya demi menyelamatkan keuangan klub. Reaksi Rui Costa pun tetap sama dengan apa yang ia rasakan sebelumnya. Ia menangis saat konferensi pers.

Ia dibeli AC Milan dengan harga 41,32 juta euro (Rp 718,14 miliar). Hingga musim panas 2024, nilai transfer tersebut masih menjadi yang tertinggi ketiga dalam sejarah AC Milan. Meski sudah berumur lebih dari 2 dekade.

 

Golden Generation yang Penuh Tangis

Meski karirnya di tim junior Portugal cukup apik, Rui Costa akan menghadapi banyak kesedihan saat membela tim nasional senior. Meski generasinya digadang-gadang sebagai generasi emas yang pernah sepak bola Portugal ciptakan, mereka tak pernah meraih trofi.

Pada Piala Eropa 1996, Portugal melaju dari fase grup sebagai juara. Mereka tergabung bersama Kroasia, Denmark, dan Turki. Meski diimbangi oleh juara bertahan, Denmark, di laga awal, mereka menyapu bersih dua laga sisanya. Sayang, gol semata wayang Karel Poborsky untuk Ceko membuat asa Portugal terhenti di babak 8 besar.

Piala Dunia 1998, Portugal gagal lolos. Kartu merah yang Rui Costa dapatkan pada fase kualifikasi membuat Portugal imbang dari Jerman. Padahal mereka butuh menang. Laga yang digelar pada 7 September 1997 tersebut merupakan satu-satunya kartu merah yang Rui Costa raih selama berkarir. Ia dihukum oleh wasit akibat dianggap terlalu lama berjalan ketika akan diganti pemain lain. Alhasil, Jerman bisa menyamakan keunggulan atas 10 pemain Portugal.

Pada Piala Eropa 2000, golden goal Zinedine Zidane menghentikan asa Portugal bermain di laga final. Portugal sebenarnya tampil meyakinkan sejak fase grup. Mereka menyapu bersih semua pertandingan dan kembali menang di babak 8 besar. Sayang, mereka malah bertemu Prancis di semifinal, tim yang ternyata keluar sebagai jawara kompetisi. 

Terakhir adalah yang paling menyakitkan. Laga terakhir Rui Costa adalah momen yang paling menyakitkan baginya. Final Piala Eropa 2004 adalah momen paling dekat bagi Rui Costa untuk mempersembahkan sebuah trofi bersama tim nasional senior.

Namun, seperti yang kita semua sudah tahu, mereka malah kalah dengan menyakitkan dari Yunani lewat gol tunggal Angelos Charisteas. Parahnya lagi, laga final tersebut dilaksanakan di Estadio da Luz. Tempat paling sakral bagi hidup Rui Costa, sang maestro yang berhati kaca.

https://youtu.be/EodNZ9TY0UU

Sumber: These Football Times, Planet Football, The Gentleman Ultra, dan Transfermarkt

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru