Gerard Pique mendapati dirinya gagal saat berseragam Manchester United. Ia mengalami keterpurukan kala bermain di Liga Inggris sekitar tahun 2004-2008. Selain Pique, Angel Di Maria juga tak bisa menjumpai sentuhan terbaiknya kala membela Setan Merah.
Di Maria mengalami paceklik saat bermain di Liga Inggris. Dari 32 laga, sepanjang musim 2014/15, sang malaikat justru hanya bisa mencetak 4 gol dan 12 assist saja. Selain dua nama itu, masih ada Iago Aspas, Juan Cuadrado, Sebastian Haller, sampai Alvaro Morata yang semuanya flop ketika bermain di Liga Inggris.
Hari ini kita bisa melihat tanda-tanda yang sama pada Darwin Nunez dan Cody Gakpo. Dua pemain yang didatangkan Liverpool itu masih belum menampilkan kualitasnya. Soal Gakpo, mungkin butuh waktu. Lantas bagaimana dengan Nunez?
Sederet pemain tadi dan beberapa pemain lainnya yang gagal di Liga Inggris menunjukkan betapa bermain di liga paling kompetitif memang tak mudah. Tak sedikit pemain akhirnya kesulitan ketika pindah ke Premier League, meski sebelumnya atau bahkan setelahnya sang pemain bisa moncer lagi. Tapi pertanyaannya, mengapa?
Daftar Isi
Banyak Pemain Mahal Merapat ke Inggris
Liga Inggris sebagai barometer liga paling kompetitif membuat pemain mana pun tertarik untuk merapat ke sana. Pun begitu bagi klub-klub Premier League itu sendiri. Mereka membutuhkan amunisi untuk bertarung di Liga Inggris. Maka mengimpor pemain dari luar adalah solusinya.
Klub-klub Liga Inggris yang rata-rata memiliki kekuatan finansial tak segan untuk mengimpor pemain dari luar dengan harga yang mahal. Contoh paling dekat adalah Enzo Fernandez. Pemain Benfica yang harga pasarnya hanya sekitar 55 juta euro (Rp892 miliar), malah dibeli Chelsea dengan banderol 121 juta euro (Rp1,9 triliun).
Chelsea unveil Enzo Fernández as new €121m signing, the most expensive midfielder ever 🔵🇦🇷 #CFC pic.twitter.com/VwF6mkMxAL
— Fabrizio Romano (@FabrizioRomano) February 1, 2023
Manchester United juga membeli Jadon Sancho dari Borussia Dortmund seharga 85 juta euro (Rp1,3 triliun). Awal musim ini, Setan Merah juga membeli Antony dari Ajax bahkan dengan uang 95 juta euro (Rp1,5 triliun). Kemarin Chelsea juga mendatangkan Mykhaylo Mudryk dari Liga Ukraina seharga 70 juta euro (Rp1,1 triliun).
Pemain-pemain tadi membuktikan klub-klub Liga Inggris tak pernah ragu untuk memboyong pemain dari liga luar. Meskipun bukan dari lima liga top Eropa. Masalahnya pemain yang didatangkan belum teruji. Hal itu mengakibatkan sang pemain justru menuai kesulitan ketika bermain di Liga Inggris.
🚨 Mudryk is on his way to London to undergo a medical at Chelsea, AGREEMENT REACHED. €70m+€30m add ons. (@David_Ornstein) #CFC
🎨 – @OneFootball #CFC pic.twitter.com/iLG9mmv5PD
— Pys (@CFCPys) January 14, 2023
Penyesuaian Diri
Mengapa itu bisa terjadi? Sebuah riset dari The Conversation menjelaskan bahwa hal itu berkaitan dengan penyesuaian diri si pemain. Sebagaimana orang pindah ke negara lain membutuhkan penyesuaian dengan lingkungan baru dan asing.
Para pemain harus mencari tempat tinggal yang baru. Mereka juga perlu menjalin hubungan pertemanan yang baru. Tidak hanya dengan rekan satu tim yang baru, tapi juga hubungan pertemanan dengan penduduk sekitar. Terlihat sederhana, tapi kenyataannya tidak semudah itu.
Pemain perlu menyesuaikan budaya yang ada di klub maupun negara yang disinggahi. Karena dalam hal ini Inggris, maka harus bisa menyesuaikan dengan budaya, cuaca, dan kondisi yang ada di Inggris. Tapi bersamaan dengan itu, para pemain yang baru datang ke Premier League juga mendapat tekanan yang tinggi.
Apalagi kalau para pemain ini dibeli dengan harga yang mahal. Sudahlah harus menyesuaikan dengan lingkungan baru, mendapat tekanan pula. Ini yang membuat mereka agak kesulitan. Meski soal cuaca, sejatinya tidak jauh berbeda.
Kendala Bahasa
Selain itu, dalam urusan penyesuaian diri, pemain juga kadang mengalami kesulitan dalam urusan bahasa. Salah satu contohnya Darwin Nunez. Pemain yang datang dari Benfica itu kabarnya masih terkendala bahasa.
Ia tidak terlalu mahir untuk mencerna instruksi dari Jurgen Klopp yang sering menggunakan bahasa Inggris. Nunez pun mesti meminta bantuan rekannya untuk itu. Dan beruntungnya di Liverpool ada Thiago, ia bisa pelan-pelan belajar.
Thiago on Darwin Nunez:
“At one point in our life we were the young guy in the team and someone helped us. So you use that experience to help the young players. Because of the language I try to help him as much as I can and make him part of our sessions and our team.” #lfc [lfc] pic.twitter.com/xyFNRuaO3O
— Anfield Watch (@AnfieldWatch) July 24, 2022
Tapi tekanan yang tinggi dengan harganya yang mahal bikin Nunez kesulitan. Sebetulnya bukan cuma Nunez. Seniornya dulu, Luis Suarez juga terkendala bahasa ketika bermain di Liverpool. El Pistolero berkomunikasi dengan mengandalkan isyarat.
Mantan pemain Chelsea dan Liverpool, Fernando Torres juga merasakan hal yang sama. Ketika pindah ke Inggris, ia merasa kesulitan dalam berkomunikasi. Meski terlihat sepele, faktor bahasa yang berbeda ini bisa menjadi masalah.
Sebab pemain yang terkendala bahasa juga akan mempengaruhi penampilannya di lapangan. Ia juga akan sulit memahami arahan staf pelatih, rekan satu tim, bahkan tim medis dan ofisial lainnya.
Pertandingan dan Latihan yang Keras
Lumrahnya liga paling kompetitif, Premier League menawarkan laga yang keras. Jangan berharap ketika bermain di Liga Inggris bisa sedikit bersantai dan berwisata, sebagaimana mungkin di Liga Arab Saudi. Kompetisi elite menyajikan pertandingan yang sulit.
Akan ada tekel-tekel keras, pelanggaran-pelanggaran yang bisa jadi mematikan karier seorang pemain, kompetisi yang sangat padat. Semua itu bisa membuat pemain mana pun cepat lelah. Para pemain akan terkuras tenaganya.
Pertandingan yang keras juga berimplikasi pada porsi latihan yang juga keras. Disamping klub-klub Premier League juga kerap memiliki pelatih dengan gaya latihan yang keras. Erik ten Hag di Manchester United itu salah satunya. Contoh lain ada Jurgen Klopp dan Pep Guardiola.
A glimpse into Erik ten Hag’s training session ahead of @ManUtd’s opening pre-season game v @LFC tomorrow 💪 pic.twitter.com/nluKufbdzn
— SPORF (@Sporf) July 11, 2022
Maka dibutuhkan talenta, fisik, serta satu lagi yang tak kalah penting, mentalitas. Lihatlah bagaimana Memphis Depay kesulitan di Liga Inggris. Ia punya fisik yang mumpuni dan bertalenta, tapi tak memiliki cukup mentalitas untuk bermain di Liga Inggris.
Gaya Bermain
Pemain yang pindah ke Liga Inggris, sudi atau tidak, mesti menyesuaikan diri dengan gaya bermain di sana. Inilah yang sulit. Sebab Liga Inggris seolah punya gaya bermain sendiri. Tempo permainan di Liga Inggris cenderung cepat.
Setiap tim di Liga Inggris punya peluang yang sama. Setidaknya jika tidak berpeluang ke zona Liga Champions, berpeluang terdegradasi atau tersingkir dari perburuan zona Eropa. Pertandingan di Liga Inggris juga tak tertebak. Tim gurem kadang bisa mengalahkan tim gigantik.
Roberto De Zerbi first win Premier League is against Graham Potter!
FT: Brighton 4-1 Chelsea pic.twitter.com/ooI6qZWshl
— Regista (@registaco) October 29, 2022
Jika tak bisa menyesuaikan, siap-siap saja bakal flop. Para pemain yang pindah dari Serie A ke Premier League juga sudah merasakan hal yang sama. Nyaris tak ada pemain yang pindah dari Serie A yang sukses di Premier League. Barangkali hanya Mohamed Salah yang lumayan.
Erik Lamela, Matteo Darmian, Juan Cuadrado, Stevan Jovetic, sampai Lukaku pun sama. Khusus nama terakhir, ia sempat bermain di MU, kemudian tampil apik di Inter, tapi saat kembali ke Liga Inggris dan berseragam Chelsea, Lukaku flop lagi.
Romelu Lukaku at Chelsea in 2021/22:
💰 Bought for £100M
👉 Scored 15 goals in 44 matches
😤 Publicly criticised the manager and his tactics
😕 Sat on the bench for 2nd half of the season
🤑 Loaned straight back out to InterIs he the biggest flop in PL history? 🧐 pic.twitter.com/EThweYW7sa
— Football Tweet ⚽ (@Football__Tweet) June 20, 2022
Mereka bermain di Serie A dengan tempo yang lambat, relatif sedikit tim yang bisa menekan di atas lapangan, dan taktik yang khas. Lalu masuk ke liga dengan tempo cepat dan setiap tim punya tekanan tinggi. Sudah pasti kesulitan.
Liputan Media Inggris
Para pemain yang pindah ke Inggris harus menghadapi media Inggris. Liputan media Inggris lebih intens. Pemain yang bermain di Premier League tidak hanya diawasi oleh klub tapi juga media. Kalau flop harus siap menjadi gorengan media Inggris.
Hal itu bisa menjadi tekanan ekstra bagi pemain. Apalagi mantan pemain Leeds United, Eric Cantona percaya media Inggris hobi “menggali kotoran” dan bakal mengkritik kesalahan sang pemain. Maka dari itu, jika bermain di Liga Inggris, sekali lagi, mentalitas diperlukan.
Walaupun demikian, bukan berarti setiap pemain akan kesulitan ketika pindah ke Liga Inggris. Masih ada pemain yang sukses ketika pindah ke Inggris. Misalnya, Erling Haaland. Meski belum sukses-sukses amat, setidaknya Haaland tidak flop.
Malahan sang pemain makin moncer saja. Haaland konon sudah lolos ujian di mana biasanya striker dari Bundesliga akan mengalami penurunan ketika bermain di Liga Inggris. Apakah ini karena faktor Manchester City? Mungkin saja. Tapi kita tak bisa menampik bisa jadi memang Haaland punya mentalitas yang dibutuhkan untuk bermain di Liga Inggris.
Sumber: SportingFerret, TheConversation, ESPN, DailyMail, Quora, TheFootballFaithful, talkSPORT