Masih ingat dengan lagunya Afgan yang berjudul “Jodoh Pasti Bertemu”? Lagu yang ikonik dari penyanyi berkacamata itu tampaknya jadi lagu yang mesti masuk playlist fans Real Madrid dan Manchester City. Karena seolah telah ditulis oleh takdir, mereka kembali bertemu di Liga Champions edisi 2025/26.
Dalam lima musim terakhir, Madrid dan City hampir tak pernah absen saling menjegal langkah. Dari drama legendaris di Santiago Bernabéu tahun 2022, pesta biru langit di Etihad 2023, hingga pertarungan taktis Carlo Ancelotti vs Pep Guardiola yang terus menciptakan cerita klasik. Setiap pertemuan selalu menghadirkan bab yang menegangkan.
Bagi Madrid, sang penguasa abadi Eropa, bentrokan ini adalah ajang menjaga wibawa. Sementara bagi Manchester City, klub modern dengan kekuatan finansial luar biasa, duel melawan Madrid adalah ujian supremasi. Namun, yang jadi pertanyaan, kenapa dua klub ini sering banget ketemu? Bahkan ini jadi pertemuan keempat secara beruntun di UCL!
Daftar Isi
Swiss System
Mulai musim 2024/25, format Liga Champions berubah total. Tidak ada lagi fase grup dengan empat tim seperti dulu. UEFA mengganti format undiannya dengan sistem baru bernama Swiss system. Dan sistem inilah yang memperbesar peluang Manchester City bertemu dengan Real Madrid di musim ini dan musim-musim berikutnya.
Dengan adanya sistem ini, setiap klub akan menghadapi delapan tim berbeda di babak liga. Cara mencarikan lawan ya dengan sistem Swiss ini. Nantinya, baik Manchester City maupun Real Madrid akan menghadapi dua lawan dari POT unggulan yang sama, dua lagi dari POT lebih tinggi, dua lagi dari POT lebih rendah, dan dua lawan dari POT lain.
Kalau sudah terisi semua, hasil dari delapan laga itu dimasukkan ke satu tabel klasemen raksasa. Ketentuan harus menghadapi dua lawan dari POT yang sama jadi faktor kunci mengapa City dan Madrid rajin banget ketemu. Sejak musim lalu, Madrid dan City berada di POT yang sama, yakni POT 1.
Manchester City dan Real Madrid berada di POT 1 bersama klub-klub lain, seperti Barcelona, Inter Milan, Liverpool, Chelsea, Borussia Dortmund dan sebagainya. Maka dari itu, di pertandingan lain City juga menghadapi Dortmund. Dan Madrid juga menghadapi rival Eropanya, Liverpool.
Status Tim Besar dan Konsistensi
Nah untuk masuk POT 1, Manchester City dan Real Madrid harus memenuhi beberapa kriteria. Dalam skema Swiss, POT 1 diisi oleh delapan tim dengan koefisien UEFA tertinggi. Lalu, di tambah juara Liga Champions musim sebelumnya. Jadi, meski yang juara dari klub Siprus sekali pun, harus tetap masuk POT 1 di edisi berikutnya. Nah di edisi ini, PSG yang masuk POT 1 dengan jalur juara bertahan.
Lantas, koefisien macam apa yang dimaksud? Koefisien ini dihitung dari performa klub dalam lima musim terakhir di kompetisi Eropa, termasuk Liga Champions, Liga Europa, dan Conference League. Poin diperoleh dari hasil pertandingan. Menang bernilai dua poin, seri satu poin. Lalu ditambah bonus prestasi, seperti lolos ke semifinal atau final.
Maka dari itu, POT 1 berisi tim-tim berprestasi di Eropa dalam beberapa musim terakhir. Misalnya, ada Chelsea yang musim ini berstatus juara bertahan Conference League. Ada Inter Milan yang mencapai final Liga Champions sebanyak dua kali dalam lima tahun terakhir.
Sejak diberlakukannya sistem Swiss, klub juga mendapat bonus tambahan berdasarkan posisi akhir di klasemen fase liga. Di mana tim peringkat atas memperoleh poin lebih besar. Selain itu, UEFA memberi jaring pengaman berupa koefisien minimum sebesar 20% dari peringkat asosiasi negaranya. Sehingga klub dari liga top seperti Inggris, Spanyol, atau Jerman cenderung tetap stabil di posisi tinggi meski sempat tampil buruk dalam satu musim.
Dengan mekanisme ini, syarat utama masuk Pot 1 adalah konsistensi tampil baik di liga domestik dan di kompetisi Eropa selama beberapa musim, bukan hanya sesaat. Kalau enggak ya kayak Arsenal. Mainnya bagus tapi nggak pernah juara liga dan nggak konsisten di UCL. Jadinya nggak masuk POT 1.
Daya Survive
Faktor lain adalah daya juang dan kemampuan Real Madrid dan Manchester City dalam mempertahankan posisinya di Liga Champions. Karena pada dasarnya, City dan Madrid tidak hanya bertemu di fase grup. Sebelum berlakunya Swiss System, City dan Madrid sudah sering ketemu. Tapi di fase gugur.
Untuk bertemu di fase gugur, itu berarti daya survive keduanya sangat tinggi. Contohnya saat edisi 2021/22 dan 2022/23 di mana keduanya bertemu di semifinal. Itu artinya, kedua tim sebelumnya tidak bertemu di fase grup. Tapi, dengan meraih kemenangan di babak 16 besar dan perempat final, mereka akhirnya saling berhadapan.
Akal-Akalan UEFA?
Namun, beberapa pihak merasa bahwa pertemuan antara Manchester City dan Real Madrid yang terus-terusan terjadi berkat adanya campur tangan dari UEFA. Sederhananya, publik menuding kalau ini cuma akal-akalan UEFA. Mungkin terlalu naif jika langsung menuduh demikian. Namun, asumsi seperti ini kenyataannya tak bisa sepenuhnya disalahkan.
Sejak penerapan format Swiss di Liga Champions 2024/25, UEFA tidak hanya sekadar menyusun jadwal secara acak. Mereka secara sengaja mengemas setiap laga agar atraktif untuk penonton global. Dengan begini, para penonton baik di stadion maupun di layar kaca tak perlu menunggu hingga fase gugur. Karena sudah disajikan Big Match sejak pekan pertama.
Selain menghibur penonton, laga Manchester City vs Real Madrid yang hadir lebih awal bisa meningkatkan minat penonton, rating televisi, dan engagement di media sosial. Namun, yang bisa menjadi catatan adalah, UEFA tak memberlakukan ini pada Madrid dan City saja. Tapi semua.
UEFA menyebar big match ini secara merata di kalender liga. Sehingga tiap pekan intensitas pertandingan tetap terjaga. Dengan cara ini, UEFA memastikan setiap pekan tetap menjadi magnet penonton.
Rivalitas Baru
Khusus Real Madrid vs Manchester City, ada faktor kecil lain yang mempengaruhi terjadinya laga ini. Yaitu stigma masyarakat. Pertemuan berulang selama bertahun-tahun melahirkan anggapan bahwa Real Madrid dan Manchester City memiliki rivalitas kuat di panggung Eropa. Nah, di sinilah otak marketing UEFA jalan. Mereka ingin menjaga emosi ini dengan membuat laga tersebut terus terjadi setiap tahunnya.
UEFA tak hanya fokus pada hasil pertandingan dan siapa yang memenangkan kompetisi. Tetapi juga pada kisah yang bisa membentuk cerita kompetisi tiap musim. Nantinya akan tercipta narasi pertandingan antara “Sang Penguasa Eropa vs Sang Kaya Raya dari Inggris”.
Dengan kata lain, UEFA secara strategis membiarkan atau bahkan menyesuaikan undian dan jadwal agar pertemuan-pertemuan dramatis seperti ini tetap terjadi, sehingga musim Liga Champions selalu jadi obrolan warga setiap bulannya. Tapi kalau keseringan sih kayaknya bosen juga ya?
Kebetulan Saja
Ada faktor lain yang mungkin terlupakan oleh sebagian banyak fans sepakbola. Faktor itu adalah faktor kebetulan. Secara teori, faktor kebetulan memang bisa berperan, karena undian UEFA pada dasarnya masih memiliki elemen acak. Apalagi di format Liga Champions yang lama.
Pertemuan City dan Madrid di fase gugur sangat tidak bisa diprediksi. Di format dulu, kita nggak tahu nih City akan lolos ke fase gugur sebagai juara grup atau runner up grup. Begitu pun dengan Real Madrid. Jadinya nggak tau nih mereka akan ketemu di babak 16 besar atau engga. Lalu, kalau pertemuan terjadi di semifinal, ya itu murni dari daya tahan klub. Bisa aja kan City atau Madrid sudah kalah duluan di perempat final?
Jadinya kita nggak tau nih kedua tim akan melaju sejauh apa sampai akhirnya bertemu. Musim lalu aneh lagi. Siapa yang menyangka kedua tim unggulan ini justru terseok-seok di papan tengah dan akhirnya bertemu di babak play off 16 besar. Terlepas dari settingan atau tidak, Real Madrid dan Manchester City memang representatif yang tepat dari lagu Afgan. Kalau sudah jodoh ya mau bagaimana pun akan tetap dipertemukan.