Edy Rahmayadi telah menyatakan mundur dari jabatannya sebagai ketua umum PSSI. Di Kongres Tahunan PSSI pada 20 Januari 2019, ia lantas menyerahkan bendera PSSI kepada Joko Driyono, sang wakil ketua umum.
Tagar #EdyOut yang selama ini mengemuka pun telah mencapai cita-cita. Namun mengapa Joko Driyono, yang akrab disapa Jokdri, langsung diminta keluar juga di hari itu? Tagar #JokdriOut langsung menjadi trending di twitter malam itu juga …
Jokdri sudah sangat lama berkecimpung di sepak bola Indonesia. Seperti dilansir Panditfootball, ia disebut-sebut sudah menjadi bagian dari PSSI sejak 1991. Namun, ia baru benar-benar terlihat di sepak bola pada 2003, saat menjadi manajer Pelita Krakatau Steel.
Pelita KS saat itu dimiliki oleh Nirwan Bakrie. Nirwan sendiri lama menjabat sebagai wakil ketua umum PSSI. Sebelum Pelita hilang dan pindah ke banyak kota dan sering berganti nama, Jokdri sudah ditarik menjadi Direktur Kompetisi Badan Liga Indonesia yang dikomandoi Andi Darussalam Tabusalla.
Andi Darussalam merupakan rekan dekat Nirwan yang membantu keluarga Bakrie dalam penuntasan kasus Lapindo. Jaringan ini juga termasuk Nugraha Besoes, yang lebih dari 25 tahun menjabat sebagai sekretaris jenderal PSSI. Nirwan berperan sebagai bapak asuh, yang mengucurkan dana untuk operasional PSSI dan PT Liga.
Beberapa tahun mengurus kasta amatir, Jokdri naik level ke PT Liga Indonesia pada 2009. Ia lalu menjadi CEO di perusahaan yang menjadi operator Liga Super Indonesia tersebut. Pada musim 2009/10, PT Liga yang diasuh Jokdri dicurigai mencoba menyelamatkan Pelita Jaya dari degradasi. Sebagai tumbal, Persik Kediri dan Persebaya Surabaya yang dipermainkan jadwalnya pada musim itu “didegradasikan”.
Diliputi segala masalah sepanjang menggelar Liga Super Indonesia, posisi Jokdri di PT Liga tak terusik. Ia kemudian bahkan diangkat sebagai orang penting di federasi. Pada 2014, ia menjadi Sekjen PSSI tanpa melepas posisinya di PT Liga Indonesia.
Pada 2015, Jokdri melalui PT Liga Indonesia tetap meloloskan Arema Cronus dan Persebaya Surabaya ke Liga Super Indonesia meski terkendala masalah legalitas. Menpora Imam Nahrawi yang melihat banyak klub lain masih menunggak gaji lalu membekukan PSSI. Akibatnya, sanksi FIFA Dijatuhkan, Liga Super Indonesia pun bubar.
Di saat liga bubar pun, Jokdri tetap sanggup beraksi. Melalui PT dadakan, PT Gelora Trisula Semesta, ia tetap mampu menggelar Torabika Soccer Championship, kompetisi hura-hura di kala Indonesia disanksi FIFA.
Selepas sanksi diangkat, yakni paada Kongres PSSI 2016 yang membuat Edy Rahmayadi terpilih sebagai ketua umum, di saat yang bersamaan Joko Driyono terpilih sebagai wakil ketua umum. Pada masa ini pula, Jokdri diketahui merupakan pemilik saham mayoritas Persija Jakarta.
Januari lalu setelah Edy mundur, Jokdri naik ke tampuk kekuasaan sebagai Plt. Ketua Umum PSSI. Suporter langsung memintanya keluar lantaran ia dianggap sebagai orang lama yang terus mempertahankan kekusutan sepak bola Indonesia.
Praktis saat ini, Jokdri mengambil peran sebagai pemilik klub (Persija), operator liga (PT LIB), dan ketua federasi (PSSI). Lengkap sudah posisi yang pernah diemban Jokdri di persepakbolaan Indonesia.
Namun, belum sebulan menjabat sebagai Plt. Ketum PSSI, Joko Driyono sudah dicokok Satgas Anti-Mafia Bola. Setelah kantor kerja dan apartemennya digeledah polisi, ia resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus pengaturan skor pada 15 Februari dan dilarang ke luar negeri.
Status tersangka Jokdri hendaknya dijadikan momentum untuk membersihkan PSSI. Atau, PSSI mau dipimpin dari balik jeruji lagi?