[Include wawancara Pep Guardiola, tidak usah di-VO]
Pep Guardiola: “Cruyff bagiku sangat mempengaruhi perkembangan sepakbola. Tak ada pemain dan pelatih hebat sepertinya.”
Hey Pep, apakah Cruyff itu Tuhanmu yang sebenarnya? Kegandrungan Pep pada Johan Cruyff mungkin sudah sampai pada tingkat keimanan seseorang. Oke, gaya sepakbola yang diserap dari junjunganmu itu beberapa kali bisa membuatmu bergelimang prestasi. Tapi yang perlu diingat, tak semua orang suka pada gaya sepakbolamu, Pep. Mereka berusaha melawanmu.
Daftar Isi
Bola dan Kebahagiaan
Suatu hari di pinggiran kota Catalunya, Santpedor. Di tengah hamparan tanah yang luas dengan pemandangan gereja Santo Fransiskus yang terkenal, lahir seorang fenomena dalam sepakbola bernama Josep Guardiola Sala.
Lahir dari ayah seorang kuli batu dan ibu rumah tangga, Guardiola hidup dalam kesederhanaan. Meski bukan dari keluarga pesepakbola, namun sejak usia dini pepatah “bola adalah teman” sudah identik dengannya.
Pep kecil terbiasa meninggalkan rumah hanya untuk bermain bola di lapangan dekat rumah. Di sana Pep kecil meluapkan kegembiraannya. Melihat anaknya gembira bermain bola, tak jarang gaji ayahnya disisihkan untuk membelikan bola baru bagi Pep saat Natal.
Pep senang bukan kepalang ketika mendapat kado berupa bola baru. Ia akan selalu membawa bolanya itu kemanapun ia pergi. Layaknya anak kecil pada umumnya yang seolah ingin pamer kepada teman-temannya.
Ball Boy
Pep Guardiola sangat menikmati bermain bola sejak kecil. Tapi belum terpikirkan sama sekali dalam benaknya untuk jadi pemain bola profesional. Ayahnya juga jarang menemani dan mendukungnya. Maklum, sebagai kuli ia sering pulang larut malam.
Suatu ketika Pep bersama teman-temannya memberanikan diri untuk menerima ajakan bergabung menjadi Ball boy di stadion Camp Nou. Bayangkan, betapa girangnya anak-anak kecil dari desa pinggiran diajak pergi ke stadion megah tengah kota milik klub besar Barcelona.
Pep sangat senang dan segera meminta restu kedua orang tuanya. Orang tuanya pun merestui. Asalkan, Pep tetap bersama teman-temannya. Pep ternyata sangat menikmati menjadi Ball Boy. Tiap hari ia terus bertemu bola yang menjadi teman hidupnya. Ia menganggap semua bola itu adalah miliknya.
Pep adalah seorang Ball Boy di masa Barcelona dilatih oleh pelatih Terry Venables. Ada momen ketika Pep yang masih berusia 14 tahun tertangkap kamera sedang bertepuk tangan disamping pelatih Terry Venables, ketika merayakan kemenangan di semifinal Piala Champions tahun 1986.
Setelah setahun lamanya menjadi Ball Boy, Pep bersama teman-temannya diajak untuk masuk akademi muda Barcelona. Pep pun terharu, dan langsung memberitahu kabar baik ini kepada kedua orang tuanya.
Pep yang berhari-hari hanya bisa mengamati pemain dari pinggir lapangan, akhirnya bisa diberi kesempatan untuk berlatih. Dari sinilah sepakbola Pep mulai diasah. Pep mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa mengolah si kulit bundar itu dengan baik.
Bertemu Cruyff
Masuknya Pep ke akademi Barcelona tak disadari akan mengubah hidupnya. Di sinilah ia mulai bersinggungan dengan ide-ide Johan Cruyff. Namun siapa sangka, sebelum tergila-gila dengan Cruyff, Pep ternyata punya banyak poster Michel Platini, pemain yang juga ia idolakan sejak kecil.
Kata ayah Pep, poster Platini terpajang rapi di dinding kamar tidurnya. Namun Pep sempat kesal dengan idolanya tersebut. Saat jadi Ball Boy, Pep sempat ditolak Platini ketika berusaha minta tanda tangan.
Pertemuannya dengan Cruyff pada tahun 1988, membuat ia berpaling dari Platini. Kesan antusias, suka, kagum adalah yang dirasakan Pep ketika pertama kali bertemu Cruyff. Cruyff saat itu bicara banyak pada Pep. Ia memberi wejangan dan motivasi bagaimana memahami sepakbola dengan baik.
Dikecewakan Barcelona
Mulailah, ide-ide dari Cruyff itu menjangkiti otak Pep. Pep yang sedang tumbuh berkembang menjadi pesepakbola, pikirannya selalu dihantui doktrin dari Cruyff. Performa Pep di akademi semakin berkembang dengan ide-ide Cruyff. Ia juga terus dipantau Cruyff. Sampai pada akhirnya, kesempatan istimewa untuk debut di skuat senior Barcelona tiba.
Di tengah gegap gempita 7500 orang di Camp Nou jelang Natal tahun 1990, pemain bernomor punggung 4 bernama Guardiola bermain menjadi gelandang inti pasukan Cruyff di pertandingan La Liga melawan Cadiz. Sungguh, hari itu menjadi peristiwa yang tak terlupakan bagi Pep dan publik Catalan.
Musim demi musim, Cruyff dan Pep jadi bagian yang tak terpisahkan dari The Dream Team Barcelona awal 90-an. Guardiola jadi poros gelandang Blaugrana yang meraih banyak prestasi. Salah satunya trofi Liga Champions pertama Barcelona, yakni tahun 1992.
Sepuluh tahun lebih, Pep mengabdi pada Barcelona sebagai pemain. Di Barcelona Pep tumbuh menjadi pesepakbola ternama dunia. Namun ada satu yang tak mengenakan pada dirinya di saat berada di ujung pengabdiannya.
Suatu sore di bulan April tahun 2001. Pep mengadakan pertemuan dengan presiden Barca saat itu Joan Gaspart, untuk memberitahukan bahwa dia akan pergi.
Guardiola ingin di saat-saat terakhirnya bisa menggelar konferensi pers perpisahannya dengan didampingi Presiden Gaspart. Namun apa yang terjadi? Ternyata Gaspart tak hadir. Ia beralasan sudah kadung memesan tiket berlibur ke Swiss.
Akhirnya, mau tidak mau perpisahan Pep hanya sekadar menyampaikan pesan perpisahan sendiri saja di media. Perpisahan Pep sebagai pemain Barca tanpa penghormatan berlebih dari klub. Sebuah perlakuan yang sebenarnya kurang pantas bagi pemain yang telah berjasa besar.
Kasus Doping Di Italia
Peristiwa itu jadi noda pertama bagi Pep dalam karier sepakbolanya. Ya, cerita perjalanannya di Barcelona sebagai pemain telah tutup buku. Pep mencoba untuk move on dengan membuka lembaran baru di Negeri Pizza, Italia.
Brescia, klub semenjana Serie A menjadi pelabuhan baru Pep. Kedatangannya ke Brescia, tiada lain karena Pep ingin menit bermainnya bisa terjaga demi masuk Timnas Spanyol di Piala Dunia 2002.
Selain itu, Roberto Baggio adalah alasan Pep berikutnya. Pep sangat ingin bermain dengan striker gondrong Italia itu. Dan yang tak kalah penting, budaya dan gaya hidup kota Lombardy, telah membuatnya kesengsem.
Bukannya baik-baik saja di Italia, masa pengabdian Pep di Brescia malah penuh dengan gejolak. Hanya beberapa bulan setelah menginjakkan kaki di Italia, sang gelandang dinyatakan positif menggunakan doping jenis steroid nandrolone. Walaupun dengan keras memprotes ketidakbersalahannya, Pep akhirnya dikenakan larangan bermain sepakbola selama empat bulan.
Setelah perpisahannya dengan Barcelona kurang baik, inilah noda berikutnya bagi karier Pep. Orang tua Pep di Catalan juga ikut terkejut melihat kabar ini. Mereka tak percaya, anaknya yang baik itu bisa terjebak kasus doping di negeri orang.
Dipinggirkan Capello
Kasus tersebut tak serta-merta membuat Pep kapok meninggalkan Italia. Kecintaannya hidup di Negeri Menara Pisa itu makin menjadi, ketika ia bergabung dengan klub ibu kota AS Roma. Pep diterima dengan baik oleh Presiden Roma, Franco Sensi. Namun, tidak bagi pelatih Roma saat itu, Fabio Capello.
Pep adalah pembelian yang tak diinginkan Capello. Permainan yang akan Capello terapkan di Roma tak membutuhkan peran pemain seperti Pep. Kejam benar Capello terhadap Pep. Ia meminggirkan Pep dari skuad utama Giallorossi. Pep pun merasa tersinggung. Ia sampai mengatakan bahwa bangku cadangan Olimpico lebih enak daripada rumput lapangannya.
Menolak Manchester City
Pengalaman di Italia dengan dua peristiwa tak mengenakan tersebut membuatnya benar-benar angkat koper dari Italia di tahun 2003. Diam-diam ia mengikuti jejak Gabriel Batistuta, mantan striker Roma yang hijrah ke Liga Qatar.
Terbang ke negeri minyak bergabung dengan klub Al-Ahli SC adalah jalan ninja Pep di masa purnanya sebagai pemain. Di sana ia diberi penghormatan dan gaji yang lumayan. Masa pengabdian Pep di Al Ahli memang berjalan hingga dua tahun lamanya.
Namun ada satu cerita unik ketika masa pengabdiannya di Qatar habis di tahun 2005. Kata Yasser, teman Pep ketika di Qatar, Pep sempat ikut uji coba jadi pemain Manchester City. Bahkan Pep sudah latihan bersama The Citizens arahan Stuart Pearce.
Akan tetapi kontrak yang dijanjikan City terhadap Pep yang hanya enam bulan, membuat sikap pria kelahiran Santpedor ini berbalik.
[Include wawancara Pep Guardiola, tidak usah di-VO]
Pep Guardiola: “Saya punya keluarga. Saya lebih baik pergi main golf dan berlibur, daripada hidup singkat dengan penuh ketidakpastian.”
Benar saja, Pep lebih memilih istirahat sejenak dari hiruk-pikuk dunia sepakbola di tahun 2005. Pep tidak memilih pensiun. Di usia senjanya, Pep masih ingin bermain sepakbola yang sudah jadi kegemarannya sejak kecil.
Sosok Juanma Lillo
Di saat masa rehatnya yang hampir setahun, Pep kemudian malah terpikir bagaimana belajar ilmu tentang kepelatihan. Pep teringat satu sosok yang dulu ia pernah temui ketika masih menjadi pemain Barcelona. Orang itu adalah Juanma Lillo. Mantan pelatih Real Oviedo itu pernah diketok pintu ruang gantinya oleh Pep hanya untuk berkenalan. Menurut Pep, Lillo adalah pelatih dengan pemikiran hebat.
Pep nekat kembali menemui Lillo di Meksiko. Kebetulan Lillo sedang melatih klub Meksiko, Dorados Sinaloa. Di sana Pep memberanikan diri diikat sebagai pemain selama setengah musim. Hal tersebut sempat dinilai mencoreng karier yang sudah ia bangun sebagai pemain. Karena klub Dorados hanya berlaga di divisi tiga Meksiko.
Bagi Pep, peduli setan. Yang penting ia bisa meraup ilmu sebanyak-banyaknya dari Lillo. Pep ingin dilatih langsung oleh Lillo. Ia ingin mempelajari bagaimana menjadi pelatih yang baik.
Kampung Halaman yang Dirindukan
Menjadi pemain sepakbola di usia yang sudah menginjak 35 tahun bukan hal mudah. Ketika sudah tinggal enam bulan lamanya di Meksiko, Pep Guardiola mulai berpikir untuk menyudahi petualangannya sebagai pesepakbola.
Bulan Juli 2006, Pep mantap mengakhiri karier sepakbolanya. Ia ingin kembali ke tanah kelahirannya. Tak lupa, ia pamit baik-baik dan mengucapkan terima kasih banyak kepada Lillo. Pep tak bisa menahan rindu untuk segera pulang ke Catalan bertemu keluarganya.
Sepulangnya ke Catalan, ia sempat bertemu dengan Presiden Barcelona, Joan Laporta. Laporta memberikan kesan dan pesan padanya setelah memutuskan pensiun sebagai pesepakbola. Tak hanya itu, Laporta juga menawarkan Pep pekerjaan sebagai pelatih Barca B.
Pep kaget, dan merasa itu hanya guyonan belaka. Pep merasa belum memiliki keberanian untuk melatih. Namun atas dasar pengabdiannya pada klub, Pep pun akhirnya setuju. Ya, Pep akhirnya kesampaian terjun sebagai pelatih. Pep mulai melatih Barca B yang berlaga di kasta keempat La Liga pada tahun 2007.
Menyingkirkan Jose Mourinho
Marc Valiente, mantan anak buah Pep di Barca B ingat kata-kata Pep pertama kali melatih. “Kita baru terdegradasi. Kita butuh bangkit karena Barcelona tak pantas berada di divisi empat ini.”
Barca B di bawah Pep memenangkan 7 dari 10 laga awalnya. Namun tak cuma hasil saja yang dilihat, beberapa hal fundamental dari cara Pep melatih diperhatikan serius oleh manajemen Barca. Seperti membangun serangan dari bawah maupun segi penguasaan bola. Sebagai pelatih Pep juga terus dipantau dari jauh oleh Johan Cruyff.
Setahun berlalu. Terjadilah situasi yang kurang kondusif di Barcelona senior. Frank Rijkaard nasibnya di ujung tanduk. Pemberhentian pelatih Belanda itu semakin nyata dengan rentetan hasil mengecewakan di musim 2007/08.
Dewan Barca segera melakukan rapat untuk mempersiapkan suksesor pelatih. Uniknya, mayoritas dewan menghendaki Jose Mourinho. Dewan menghendaki Mou karena ingin dapat hasil cepat untuk bangkit. Mendengar hal itu, Johan Cruyff yang ikut rapat langsung berdiri dan angkat bicara.
Enak saja mau menunjuk Mourinho saat Barcelona masih punya Pep Guardiola. Dengan pengamatannya di Barca B, Cruyff segera menyodorkan nama Pep Guardiola. Ia yakin, anak didiknya itu sanggup untuk sekadar melanjutkan kiprah Rijkaard.
Cruyff pun sampai memberanikan diri untuk melobi Laporta. Karena bagaimanapun Laporta adalah pemegang kuasa tertinggi untuk memutuskan pelatih Barca. Ya, akhirnya Laporta menuruti apa kata Cruyff. Laporta memutuskan untuk menunjuk Pep Guardiola sebagai nahkoda baru Barca di tahun 2008 menggantikan Rijkaard.
Mendepak Ronaldinho dan Yaya Toure
Terkejut, begitulah sikap awal Pep mendengar berita penunjukannya sebagai pelatih Barcelona. Pep awalnya tak pede akan kemampuannya sendiri. Namun setelah tahu bahwa Cruyff yang memintanya, ia langsung bersemangat dan menerima tantangan berat itu.
Harapan masyarakat Catalan akan kejayaan Barcelona pun mulai dititipkan ke pundaknya. Namun di awal masa jabatannya, justru ada sesuatu yang mengejutkan keluar dari mulutnya. Ronaldinho, tak masuk dalam rencana timnya.
Sontak publik Barca pun terkejut. Ya, bagaimanapun Ronaldinho adalah maskot Barcelona meraih kejayaan. Namun Pep punya pandangan lain tentang Dinho. Setelah berbicara empat mata dengan Dinho, Pep langsung bisa menilai bahwa gaya hidup dan sindrom superstarnya berbahaya bagi tim.
Pep tak membenci Dinho. Begitupun Dinho, ia juga lebih memilih tak berdebat dengan pandangan Pep itu. Dinho pun akhirnya legowo dan memilih jalan damai dengan hijrah ke AC Milan.
Selain Ronaldinho, Yaya Toure juga jadi tumbal Pep di Barca. Di musim perdana Pep, tiba-tiba posisinya sering diambil alih pemain cungkring dari Barca B, Sergio Busquets. Toure awalnya legowo. Oh, itu mungkin strategi alternatif dari Pep.
Namun pada akhirnya, memang itulah cara Pep mendepak secara halus gelandang Pantai Gading itu. Pep tampak lebih cocok dengan Busquets ketimbang Toure. Hal itulah yang akhirnya membuat Toure muak dan memutuskan hengkang.
[Include Wawancara Yaya Toure Tidak Usah Di VO]
Yaya Toure : “Pep seperti mengabaikanku begitu saja. Ia jarang mengajaku bicara hampir semusim di Barcelona.”
Pep Dilawan
Ya, sungguh musim debut yang penuh dengan resiko bagi Pep. Di tengah kebijakannya yang brutal, kalau hasilnya tak meyakinkan bisa berakibat fatal. Namun keyakinan Cruyff memang tak pernah salah. Pep benar-benar bisa membuktikan, bahwa dirinya adalah salah satu pelatih hebat dunia.
Tahun 2009, adalah tahun spesial baginya. Gelar “Sextuple” adalah tanda debut yang bukan kaleng-kaleng. Sungguh, pencapaian ini di luar dugaan. Selain jadi raja di tanah matador dengan sejumlah gelar, Liga Champions ke-2 Barcelona pun sukses diraih. Pep meraihnya di tanah Romawi, tanah di mana Pep dulu sempat dicampakan Capello saat menjadi pemain.
Tahun 2010 pun tiba. Dunia mulai menentang dominasi Pep. Layaknya sebuah film, tokoh antagonis akhirnya muncul. Dia adalah Jose Mourinho, pelatih Inter Milan saat itu. Mourinho hadir sebagai antitesa sepakbola yang dimainkan Pep.
Gaya bertahan “parkir bus” saat bertemu Pep di semifinal leg kedua Liga Champions 2010, jadi awal perlawanan Mourinho. Mourinho sukses menjadi bajingan di laga itu. Pep juga dibuatnya frustasi dengan arogansi Mourinho berselebrasi merayakan kemenangan Inter.
Pelatih Portugal itu tanpa dosa berlari mengelilingi Camp Nou dengan gestur satu jari di mulutnya. Sungguh, itu telah membuat malu Pep di hadapan publik Camp Nou. Para pemain Barca seperti Victor Valdes pun sempat bereaksi keras terhadap tingkah pelatih Portugal itu.
Perlawanan terhadap gaya sepakbola Pep tak sampai di Mourinho saja. Di akhir masa jabatannya sebagai pelatih Barca, Pep menemui lagi aktor antagonis lain yang berani melawannya. Ia adalah Roberto Di Matteo, pelatih Chelsea tahun 2012.
Impian Pep meraih gelar Liga Champions ke-4 bagi Barcelona dihancurkan oleh pria Italia itu. Lewat cara bertahan total di leg kedua semifinal Liga Champions 2012, The Blues mampu membungkam seisi Camp Nou. Ya, tak disadari musim terakhir Pep di Camp Nou dicoreng oleh noda yang dibuat oleh Di Matteo.
Merusak Sepakbola Jerman
Pep harus pergi dari Camp Nou di saat gaya sepakbolanya sudah mudah untuk dihancurkan. Pasca meninggalkan kenangan manis empat tahun di Camp Nou, Pep pun memilih rehat sejenak.
Pep nampak masih mencoba berdamai dengan gaya sepakbolanya itu. Pep sempat menyebut bahwa gaya “tiki-taka”-nya itu sudah mati. Ia bahkan tak mau lagi disebut pelatih dengan gaya tersebut.
Setahun berlalu. Tahun 2013 Pep bangun dari rehatnya. Namun, ia butuh tantangan baru. Tawaran dari beberapa klub pun berdatangan. Salah satunya dari raksasa Jerman, Bayern Munchen.
Ya, melatih di Jerman adalah tantangan baru bagi Pep. Maka tak pikir panjang, Pep setuju menerima proyek melatih Die Roten. Pep juga ingin membuktikan, apakah gaya sepakbolanya tersebut masih bisa berjaya di tanah Hitler.
Munchen berubah sejak ditangani Pep. Penguasaan bola, umpan-umpan pendek, permainan tempo, serta membangun serangan dari bawah, perlahan jadi gaya baru permainan Die Roten. Sebelumnya, Munchen lebih bermain sepakbola hasil. Di mana kekuatan fisik maupun intensitas pressing adalah hal yang sangat dominan.
Perubahan tersebut nyatanya berdampak baik bagi Munchen. Gelar hattrick Bundesliga jadi bukti. Sebagian besar pemain Munchen pun terkena dampaknya. Para pemain seperti Lahm, Schweinsteiger, maupun Muller, sudah kadung nyaman dengan doktrin sepakbola Pep. Pengaruh itu pun sampai terbawa oleh mereka ke Timnas Jerman pada Piala Dunia 2014.
Pesta meriah Jerman di Brazil sebagai juara dunia, tak luput dari secuil andil doktrin sepakbola Pep. Namun anehnya, hal itu lama-kelamaan malah dianggap menjadi biang kerok ketidakkonsistenan Timnas Jerman.
Kegagalan Der Panzer pasca 2014, terus dialamatkan pada doktrin sepakbola Pep. Pengaruh sepakbola Pep dianggap membuat sepakbola Jerman keluar dari ruh atau pakem sebenarnya. Schweinsteiger pernah mengatakan bahwa ruh sepakbola Jerman yang berjiwa petarung dan mengandalkan energi fisik sudah mulai hilang.
Dimusuhi Dokter
Apes benar Pep di Jerman. Selain dituduh sebagai biang kerok kegagalan sepakbola Jerman, ia juga dicap sebagai pelatih gagal. Pasalnya, Die Roten di bawah kepemimpinannya selalu gagal merengkuh mahkota Liga Champions.
Publik Munchen selalu membanding-bandingkan era Pep dengan era Jupp Heynckes ketika mampu meraih gelar Liga Champions. Tak hanya itu, Pep sempat dimusuhi oleh dokter tim Munchen bernama Hans-Wilhelm Müller-Wohlfahrt. Dokter berambut gondrong itu mengatakan bahwa Pep adalah pribadi yang sok tahu, dan ikut campur dalam penanganan medis Munchen.
Berkat adanya perselisihan tersebut, akhirnya sang dokter itu memilih untuk mundur. Anehnya, Pep yang disalahkan akibat mundurnya sang dokter tersebut. Pep pun akhirnya berani angkat bicara.
[Include Wawancara Guardiola Tidak Usah di VO]
Pep : “Tidak ada masalah besar diantara kami. Itu merupakan keputusannya. Saya hanya bisa menghormatinya. Saya tak punya pengaruh dalam hal medis. Saya hanya kecewa kenapa pemain saya rentan cedera.”
Teman Lama Yang Buat Nyaman
Muak, mungkin kata itu yang ada dalam benak Pep ketika beberapa kali mendapat perlakukan yang tak mengenakan di Jerman. Pep diperlakukan bak orang asing yang hanya membuat onar di negeri orang.
Rasa muak tersebut kemudian bertemu dengan kebijakan klub yang tak menuruti apa yang diinginkan Pep soal pembelian pemain. Ya, akhirnya dua faktor itulah yang membuat Pep memilih pergi dari Munchen tahun 2016.
Juli, 2016, klub kaya Manchester City muncul dengan keinginan memboyong Pep. Txiki Begiristain dan Ferran Soriano adalah teman lama Pep yang sudah lebih dulu berada di City. Mereka bahkan berada pada posisi penting di sana. Merekalah yang akhirnya jadi salah satu alasan Pep mau menerima tawaran melatih City.
Dengan pelukan hangat bak sedang reuni, Pep disambut dua teman lamanya itu setibanya di Manchester City.
[Include Percakapan Guardiola, tidak usah di VO]
Pep: “Saya mencintai klub ini. Saya tahu banyak tentang siapa anda semua disini.”
Pep tampak lebih nyaman di klub ini. Sebuah hal yang tak dirasakannya ketika di Munchen. Ya, inilah awal lembar baru karier Pep di tanah Inggris.
Dimusuhi Berkat Kasus Klub
Berada di klub dengan dukungan penuh pemilik tajir dan teman yang mengerti apa maunya, Pep merasa betah. Kebetahan Pep itu ditunjukan dalam masa pengabdiannya. Delapan tahun sudah Pep melatih City. Masa terpanjang bagi Pep melatih suatu klub.
Gelar demi gelar, rekor demi rekor, telah ia raih segalanya di The Citizens. Salah satunya tentu saja gelar Liga Champions. Setelah dianggap terkena kutukan tak akan meraih Liga Champions sampai kapan pun, Pep Guardiola akhirnya membuktikan ia berhasil meraihnya. Sempurna sudah karier Pep bersama City.
Pep Guardiola telah meraih segalanya di Manchester City. Ia juga dibuat nyaman di Etihad. Tapi, saat sedang berleha-leha menikmati masa kesuksesan di Etihad Stadium, masalah masih saja merongrongnya.
Benar, Manchester City dituduh melakukan pelanggaran 115 kasus keuangan, dan bisa dihukum berat apabila bersalah. City pun menjadi musuh bersama bagi klub-klub yang menghendaki keadilan soal transparansi keuangan.
Pep merasa bersalah. Ia sempat berontak kepada pemilik soal kasus ini. Bahkan jika pemilik berbohong atas kasus ini, ia mengancam untuk hengkang. Bagi Pep, perjalanan panjang nan melelahkan dalam karier sepakbolanya, ingin ia akhiri bukan dengan masalah seperti ini.
Pep bagaimanapun tetaplah manusia biasa. Yang membedakannya mungkin hanyalah hasrat dan nafsu sepakbolanya. Jika tidak ada hasrat kegilaannya terhadap bola sejak kecil, tak mungkin Pep bisa sefenomenal ini dalam menaklukan sepakbola. Namun, Pep Guardiola perlu mengingat lagi perkataan Johan Cruyff.
“Sebagai bekas pemain dan pelatih, sehebat apapun, itu hanyalah daftar manis yang nantinya akan mempunyai sebuah akhir.”
Sumber Referensi : lifebogger, goal, espn, guardian, thesefootballtimes, goal, bleacherreport, eurosport, espn, bavarianfootball, manchestereveningnews