Belum genap dua bulan setelah dua gol Ronaldo Nazario bersarang ke gawang Oliver Kahn di final Piala Dunia 2002, harapan Bologna untuk juara di UEFA Intertoto Cup pupus. Setelah menahan imbang Fulham di leg pertama, Rossoblu justru kandas di London.
Kekalahan itu sekaligus menandai tahun terakhir Bologna di kompetisi Eropa. Setelah itu tim yang didirikan orang Austria, Emilio Arnstein ini tidak lagi bermain di level Eropa. Lebih dari dua dekade. Namun, harapan untuk berlaga di kompetisi Eropa muncul kembali.
Silakan cek klasemen Liga Italia musim ini. Bologna FC 1909 tiba-tiba merangsek ke papan atas. Mereka kini satu sirkel dengan tim-tim seperti Inter, Juventus, Napoli, dan AC Milan. Bagaimana Bologna mendadak jadi salah satu tim papan atas di Liga Italia?
Daftar Isi
Mengalahkan AS Roma dan Duduk di Peringkat Keempat
Kemarin, pada giornata ke-16, Bologna menjamu AS Roma di Stadion Renato Dall’Ara. Di atas kertas, Giallorossi yang diasuh Jose Mourinho berpeluang besar menaklukkan Bologna. Apalagi melihat komposisi skuad, Roma unggul. Tapi sepak bola tidak pernah dimainkan di atas kertas.
Sepak bola sering sekali tidak sesuai dengan apa yang dibilang statistik. Buktinya, alih-alih takluk di hadapan pendukungnya sendiri, Bologna justru semakin membuat pendukungnya cinta dengan menghajar AS Roma dua gol tanpa balas. Nikola Moro dan Rasmus Nissen Kristensen bergiliran menjebol gawang Rui Patricio.
Di laga itu Roma tak berkutik. Padahal Mourinho memainkan sepak bola idealnya sendiri. Berkat kemenangan ini Bologna mengantongi tiga poin. Rossoblu memanjat ke posisi empat dengan torehan 28 poin. Mereka unggul satu poin dari Napoli yang berada di belakangnya.
Benar. Peringkat keempat adalah posisi yang nyaman. Bertahan di sana sampai akhir musim saja, Bologna otomatis akan lolos ke Liga Champions. Tapi biasanya tim seperti Bologna akan diremehkan. Yang sinis pasti akan mengatakan Bologna tidak akan lama di papan atas.
Padahal jika mau konsisten Bologna sangat bisa. Tim ini tidak diganggu oleh kompetisi Eropa yang menguras tenaga. Mereka juga bisa setel kalem di Coppa Italia. Lagi pula kalaupun tidak bisa mengakhiri musim di peringkat keempat, ingat, musim lalu AS Roma yang finis di peringkat keenam saja bisa bermain di Liga Eropa.
Bologna Sudah Sangat Lama Absen di Kompetisi Eropa
Bersaing di papan atas membuka peluang Bologna untuk bermain lagi di kompetisi Eropa. Entah itu Liga Champions, Liga Eropa, maupun Liga Konferensi Eropa. Maklum, sudah lebih dari dua dasawarsa tim ini tidak bermain di Eropa. Terakhir kali mereka bermain di sana pun hanya di kompetisi seperti Piala Intertoto yang juaranya saja ada tiga tim.
Sementara Rossoblu hampir tidak pernah bermain di kompetisi selevel Liga Champions. Paling sering di Liga Eropa, tapi saat kompetisi ini masih bernama UEFA Cup. Tim yang juga berjuluk il Petroniani tersebut empat kali bermain di UEFA Cup. Yaitu musim 1971/72, 1990/91, 1998/99, dan 1999/2000.
Pencapaian terbaik Rossoblu di kompetisi tersebut terjadi musim 1998/99. Bologna waktu lolos ke semifinal. Sayangnya di semifinal ditumbangkan oleh wakil Prancis, Olympique Marseille lewat agresivitas gol tandang. Sementara penampilan Bologna terakhir kali di Liga Champions terjadi sudah lama sekali.
Musim 1964/65, Rossoblu lolos ke Liga Champions yang masih bernama European Cup. Namun, mereka hanya sampai di preliminary round atau sebelum babak utama. Sejak terakhir kali main di Eropa, Bologna hanya berkubang di papan tengah dan bahkan papan bawah Serie A. Tim ini bahkan dua kali merasakan degradasi setelah gagal di Piala Intertoto 2002, yakni musim 2004/05 dan 2013/14.
Kebangkitan Bologna
Bertahun-tahun Bologna menanti kebangkitan mereka sendiri. Penantian itu pun menemui keberhasilan. Rossoblu mulai mengetahui caranya keluar dari goa. Saat zaman sudah berubah. Ketika Mark Zuckerberg sudah mengganti Facebook dengan Meta dan menguasai platform seperti Instagram.
Tatkala Presiden Joko Widodo berada di ujung masa jabatan periode keduanya, Bologna baru bisa bangun dari hibernasi. Kebangkitan Bologna dimulai musim 2022/23. Ketika mereka berpisah dengan mendiang Sinisa Mihajlovic dan menunjuk pelatih anyar, Thiago Motta
Di tangan mantan pemain Paris Saint-Germain itu, Bologna yang sudah lebih dari satu dekade tidak finis di posisi 10 besar Serie A, akhirnya berakhir di 10 besar Serie A pada musim 2022/23 dengan finis di peringkat sembilan. Itu sama seperti musim 2011/12.
Thiago Motta
Di tangan Thiago Motta, Bologna berusaha finis lebih tinggi lagi. Pelatih kering pengalaman ini ternyata memiliki pengaruh signifikan di tubuh Bologna. Sebagai pemain, Motta memang punya kiprah menawan. Si Kuping Lebar pernah diangkatnya dua kali, saat berseragam Inter dan Barcelona.
Tapi di level manajerial, Motta punya portofolio yang bisa saja dianggap kurang di mata HRD. Jabatan terakhirnya sebelum di Bologna adalah manajer Spezia Calcio. Di tangannya Spezia tidak mengesankan. Yang menarik ketika Motta melatih Genoa pada 2019.
Berbicara kepada La Gazzetta dello Sport, Motta mengklaim bahwa ia memainkan sistem 2-7-2. Banyak yang mengira formasi ini tak lazim, apalagi dengan menaruh kiper sebagai gelandang. Namun apa yang dimaksud Motta sebetulnya formasi 4-3-3, namun ia melihatnya secara vertikal, alih-alih horizontal.
Remember the 2-7-2 formation? Thiago Motta has never thought of an actual 2-7-2 with the GK who’d become a midfielder. He just changed the way of reading formations. Instead of reading a 4-3-3 vertically, you flip the pitch & look at it horizontally. Then it becomes a 2-7-2. (1/2 pic.twitter.com/Owk2AoeRcQ
— Fa🅱️ri (@17Reazy) November 29, 2023
Di il Petroniani, Motta seringnya memakai formasi 4-2-3-1. Motta mengembangkan permainan yang serbaguna, memungkinan anak asuhnya menciptakan tekanan kolektif, dan membangun serangan dari belakang sebagai senjata untuk menciptakan permainan. Bologna di tangan Motta bisa beralih dari satu bentuk permainan ke bentuk permainan yang lain.
Fluiditas menjadi komponen krusial dalam permainan Motta. Dengan begitu, gerak pemain jauh lebih fleksibel. Lewat fluiditas semacam inilah, Motta bahkan bisa mengalahkan mantan pelatihnya di Inter. Ya, Motta memang pernah belajar dari Mourinho. Selain itu, sang pelatih muda juga menyerap ilmu dari pelatih-pelatih beken lainnya.
Louis Van Gaal dan Frank Rijkaard ketika di Barcelona, serta saat berseragam PSG, Motta belajar manajemen dari Unai Emery. Ditambah Motta juga satu almamater dengan Carlo Ancelotti, Antonio Conte, Claudio Ranieri, hingga Luciano Spalletti di sekolah pelatih paling terkemuka di Italia, Coverciano.
En #Coverciano (Ita.) se reunieron algunos campeones mundiales y ex figuras del fútbol, quienes iniciaron el curso para ser entrenadores.
— Sergio Biferi (@sbiferi) July 17, 2018
Ahí estuvieron: #Pirlo, #Batistuta, #Bonera, Paolo #Cannavaro, #Contini, #Chamot, #Gilardino, #Matuzalem, #Montero y Thiago #Motta. pic.twitter.com/zxeUclBeG3
Peran Giovanni Sartori
Tentu Thiago Motta tak sendirian membangkitkan Bologna. Ia dibantu direktur teknik Giovanni Sartori yang ditunjuk awal musim lalu. Sartori, yang namanya mirip ilmuwan politik Italia, sebelumnya bekerja di Atalanta. Sartori terbiasa menemukan bakat-bakat hebat.
Saat bekerja di La Dea, Sartori menemukan bakat Berat Djimsiti, Robin Gosens, Dejan Kulusevski, hingga Franck Kessie. Sartori menyusun reputasinya sebagai direktur teknik yang ahli merekrut pemain cerdas namun dengan sumber daya yang terbatas.
Salah satu temuannya yang kini mulai berkembang di Bologna adalah Joshua Zirkzee. Striker 21 tahun itu datang dari Bayern Munchen. Zirkzee menjadi sekrup penting di timnya Motta. Gol-gol Rossoblu kebanyakan berasal dari pemuda kribo yang satu ini.
Loving Joshua Zirkzee’s redemption, really in a good place now, hitting his stride & no wonder he’s playing well under Thiago Motta.
— Gilles 🇳🇬🏴 (@_Grimanditweets) December 18, 2023
I know we want PL #9 but wouldn’t mind taking him in rotation.
And we have good relations with Bologna.pic.twitter.com/NJraGYJgxx https://t.co/9flYcJXvDP
Musim ini Zirkzee sudah mengoleksi delapan gol dari 16 laga di Serie A. Sartori juga menemukan gelandang muda bagus dari Skotlandia yang tak terlacak. Ialah Lewis Ferguson. Gelandang yang unik karena bisa bermain ofensif maupun defensif sama baiknya. Ia adalah gelandang cerdas walau tidak flamboyan.
Memahami permainan adalah keahliannya. Sejauh ini Ferguson mencetak tiga gol dan dua asis. Musim ini, Bologna juga meminjam pemain AC Milan, Alexis Saelmaekers. Gelandang muda Union Saint-Gilloise, Ousama El Azzouzi juga didatangkan. El Azzouzi berperan penting dalam sirkulasi bola.
Perpaduan
Pemain-pemain tadi berkolaborasi dengan pemain yang sudah ada seperti Riccardo Orsolini yang di tangan Motta, menemukan sentuhan terbaiknya lagi. Di lini belakang, Bologna dijaga bek-bek tangguh seperti Sam Baukema, Victor Kristiansen, serta Riccardo Calafiori.
Ketiganya bermain cantik di Serie A musim ini. Sehingga Bologna pun minim kebobolan. Dalam 16 laga di Serie A, Bologna baru kebobolan 12 gol saja. Lebih sedikit dari AC Milan yang berada di atasnya dan Napoli yang berada di bawahnya. Kokohnya pertahanan Rossoblu juga berkat kiper Lukasz Skorupski.
Selain membantu menyerang, kiper berpaspor Polandia tersebut sejauh ini melahirkan enam nirbobol. Ia sementara menempati posisi keempat kiper dengan clean sheets terbanyak di Serie A musim ini. Jadi, dengan komposisi semacam itu, mampukah Bologna mewujudkan mimpinya kembali bermain di kompetisi Eropa?
Sumber: ACMilan, Squawka, TheAthletic, Total-ItalianFootball, OneFootball, Hudl, TFA, Medium