Di laga terbaru Liga Champions Eropa, Marouane Fellaini mencetak gol kemenangan di menit terakhir laga melawan Young Boys. Gol tersebut memastikan Manchester United lolos ke 16 besar, yang akan digelar pada Februari. Di laga sebelumnya melawan Juventus, sentuhan ujung rambut Fellaini berakibat pada terciptanya gol bunuh diri Juventus, yang membuat United mencuri kemenangan di Turin.
Fellaini begitu sering menjadi penentu kemenangan United, bahkan seringkali di ujung laga. Mengapa pemain yang cuma bisa memanfaatkan tinggi tubuhnya tersebut bisa sangat berguna bagi Setan Merah?
Rentetan pengaruh Fellaini tak berlangsung hanya pada musim ini saja. Sebagai contoh, di tahun terakhir Louis van Gaal, Fellaini mencetak satu-satunya gol di pertandingan semifinal melawan klubnya, Everton. Gol tersebut terbukti berpengaruh guna mengakhiri puasa trofi United sejak Sir Alex Ferguson pensiun.
Di musim berikutnya, yakni musim pertama Jose Mourinho di balik kemudi Old Trafford. Ia mengakhiri musim dengan membawa pulang Liga Europa. Di babak semifinal, Fellaini lagi-lagi menentukan kelolosan United saat menyundul bola kiriman Fellaini saat melawan Celta Vigo di Old Trafford.
Di awal kemunculannya di Teater Impian, Fellaini sering diidentikkan dengan kegagalan besar David Moyes. Manajer pesakitan yang hanya bertahan 10 bulan di United tersebut ialah orang yang bertanggung jawab memaksa mendatangkan pemain kribo pada musim panas 2013. Kedatangannya waktu itu sering dianggap sebagai pembelian panik, mengingat dirinya adalah satu-satunya pembelian United saat itu, bahkan dilakukan di hari-hari terakhir bursa transfer.
Bagaimana nasibnya berubah hingga menjadi pahlawan, semuanya terjadi bukan hanya komitmen dan kemampuannya yang memang unik. Bisa dikatakan, ia banyak tertolong oleh cara para pelatihnya menggunakannya. Baik Louis van Gaal maupun Jose Mourinho sadar, Fellaini bukan gelandang yang dianugerahi kemampuan magis, tapi para pelatih tersebut tahu, Fellaini bisa sangat efektif bila dimanfaatkan menyikapi situasi tertentu.
Moyes sudah terlebih dahulu menemukan posisi terbaiknya di Everton. Yaitu menaruh Fellaini sebagai second striker di belakang Tim Cahill. Sementara Cahill bisa bermain dengan kaki, Fellaini bisa dominan di udara. Di Manchester United, klub yang memainkan sepakbola atraktif sejak era Ferguson, pemain seperti Fellaini jelas tak kompatibel.
Namun semua berubah sejak Louis van Gaal memainkan sepak bola negatif dan banyak mengumpan lambung di akhir musim 2014/15 saat United harus berhadapan dengan Liverpool, Tottenham, Manchester City, dan Chelsea. Pada fase tersebut, United bermain baik dengan dua komponen utama: Ashley Yound di sayap kiri (ia menyingkirkan Angel di Maria) dan Marouane Fellaini di dalam kotak penalti. Hasilnya, United memenangi tiga pertandingan tersebut, dengan Fellaini bersinar di tiap laganya.
Meroketnya performa Fellaini menegaskan satu hal: situasi pertandingannya menguntungkan dirinya. Ia menyukai pendekatan langsung, dan cenderung tak sanggup bermain dengan penuh keindahan. Dia memang tak atraktif seperti halnya kebanyakan gelandang serang lain di muka bumi, tapi dia benar-benar memanfaatkan tubuhnya.
Ketika Jose Mourinho masuk pada 2016, muncul perkiraan Fellaini akan terbuang. Namun, publik lupa, Mourinho adalah pelatih yang mengagungkan hasil dan mengabaikan keindahan. Pola yang diperagakan United tidak pernah cantik di bawah Mourinho, tapi amat cocok dengan gaya main Fellaini. Bila tidak dipasang sebagai starter, Fellaini bisa lebih berbahaya dari Messi atau Ronaldo sekalipun bila sudah ditaruh di kotak penalti dalam sepuluh menit terakhir laga.
Baik Van Gaal maupun Mourinho nyetel dengan Fellaini. Fellaini pernah merayakan gol dengan memeluk Mourinho, yang mengindikasikan ucapan terima kasih sang pemain kepada pelatih karena terus mempercayainya.
Seperti legenda burung phoenix yang bisa bangkit dari kematian dari abunya, Fellaini bisa dikatakan hidup kembali setelah menjalani musim kelabu bersama David Moyes.