Ada stereotip lama bagi seorang kiper: semakin menawan seiring berjalannya usia. Penjaga gawang justru akan semakin matang jika sudah melewati usia 30, bahkan sampai mendekati 40. Namun, Edwin Van der Sar sedikit mengusik pendapat lama tersebut: ia ciamik sejak meniti karier. Ia mengawali di level tinggi, dan mengakhiri (karier) di level tinggi pula.
Bila football lovers masa kini kerap disuguhi kiper dengan footwork mumpuni semacam Ederson, Alisson, atau Kepa, dan jika kita menelusuri siapa salah satu kiper paling awal yang punya atribut semacam itu, maka kita akan menemukan nama Edwin Van der Sar.
Yap, Van der Sar tumbuh di lingkungan sepak bola Ajax Amsterdam, tempat yang terpengaruh filosofi total voetbal Rinus Michel dan Johan Cruyff yang mengagungkan penguasaan bola. Memulai debut pada musim 1990/91, dia sempat tak mendapat tempat pada musim berikutnya. Namun, begitu kiper utama Stanley Mezzo tampil buruk, Van der Sar muda mulai mengklaim tempat utama pada 1992/93. Sejak saat itu, dia selalu mencatatkan lebih dari 40 laga di tiap musimnya.
Catatan paling fenomenal tentu saja saat menjadi juara Liga Champions 1995 di bawah asuha Louis van Gaal, sebuah torehan yang tak mampu didekati klub Belanda mana pun hingga kini.
Karier terus berlanjut dan Van der Sar telah dikenal sebagai kiper terbaik dunia. Pada 1999, ia disebut-sebut sebagai kiper terbaik dunia yang tersedia di bursa transfer. Momen ini bertepatan dengan kepastian hijrahnya seorang kiper legenda di klub Manchesterl. Peter Schmeichel yang agung turun dari singgasananya di Old Trafford, dan pelatih Sir Alex Ferguson menganggap Van der Sar dapat menggantikan dirinya.
Namun, saat itu manajemen United sudah menjamin kontak dengan kiper medioker bernama Mark Bosnich, hingga kisah bersama Van der Sar pun terpaksa ditunda.
Sementara itu, Van der Sar memilih terbang ke Juventus. Pindah ke raksasa Italia ternyata tak membuatnya betah. Atributnya tak cocok dengan iklim taktik Italia yang lebih defensif. Bertepatan dengan kedatangan kiper muda bernama Gianluigi Buffon, ia pindah ke klub medioker Fulham.
Di klub ini, meski tak memburu trofi, ia tak kehilangan sentuhan. Ia mempertahankan tempatnya di tim nasional Belanda. Ketika pada 2005 ia tersedia di bursa transfer, Sir Alex Ferguson tak membuang kesempatan lagi. United tak kunjung menemukan kiper solid sejak 1999, dan ketika Van der Sar datang, United tak gonta-ganti kiper lagi hingga 2011.
Datang dalam usia 35 tahun, pria yang sudah mendapat julukan The Flying Dutchman tersebut mampu menapaktilasi pencapaian Schmeichel. Tiga titel liga beruntun, beberapa kali masuk Team of The Season, penghargaan individual, serta aneka rekor juga ia pecahkan, termasuk rekor liga tak kebobolan selama 1.311 menit. Namun, puncak karier tertingginya tentu saja final Liga Champions 2008.
Kalaupun Van der Sar punya titik lemah, maka bisa disebut ia jarang melakukan penalty save di laga besar. Di laga tersebut, ia mempelajari tingkah laku lawan alih-alih hanya mengandalkan keberuntungan. Saat berhadapan dengan Nicolas Anelka di babak adu penalti, dia memainkan pikiran lawan. Dia menunjuk ke arah kiri sementara ia akan menjatuhkan diri ke arah kanan. Thus, tangannya menepis bola, penalti gagal. Dia meninju udara seakan telah menaklukkan para iblis.
Ia masih menambah beberapa trofi hingga usianya 41 tahun. Sayang sekali ia gagal mengangkat trofi Liga Champions (lagi) di laga terakhrinya di Wembley pada final Liga Champions 2011.
Dua tahun sebelum pensiun, Sir Alex Ferguson sudah menyiapkan kiper masa depan. Kiper tersebut menyandang nama David De Gea.