Bagaimana rasanya menjadi korban comeback di panggung seprestisius Liga Champions? Jika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada FC Barcelona, maka mereka pasti memiliki jawaban yang paling panjang. Blaugrana memang paling khatam soal menjadi korban comeback di Liga Champions.
Sejak terakhir kali mengangkat “Si Kuping Besar” pada musim 2014/2015, FC Barcelona tercatat 3 kali terkena comeback di fase gugur Liga Champions. Yang pertama, adalah saat menghadapi Atletico Madrid di perempat final Liga Champions 2015/2016. Yang kedua saat mengahadapi AS Roma di perempat final Liga Champions 2017/2018. Yang ketiga dan yang paling memorable sekaligus paling menyakitkan adalah saat Barcelona ditaklukkan Liverpool di semifinal Liga Champions 2018/2019.
Dua kali kena comeback dalam dua musim beruntun jadi pukulan telak untuk Blaugrana. Karena hal ini, mereka sempat dijuluki sebagai spesialis terkena comeback.
Akan tetapi, sebelum dua kali beruntun kena comeback dari AS Roma dan Liverpool, Barcelona lebih dulu mencatat salah satu comeback terbaik dalam sejarah Liga Champions. Disebut terbaik, karena comeback yang dilakukan Barcelona kala itu, baru terjadi sekali dan satu-satunya hingga hari ini dalam sejarah Liga Champions.
Daftar Isi
Bencana di Paris: PSG 4-0 Barcelona
Hasil undian babak 16 besar Liga Champions musim 2016/2017 mempertemukan juara Grup C, FC Barcelona dengan runner-up Grup A, Paris Saint-Germain. Pertemuan kedua tim menjadi salah satu super big match yang tersaji di Liga Champions musim tersebut.
Barca kala itu masih dilatih oleh Luis Enrique dan masih memiliki trio MSN. Mayoritas pemain Barca kala itu juga merupakan pemain yang sama yang menjuarai Liga Champions dua musim sebelumnya. Di sisi lain, PSG baru berganti pelatih ke Unai Emery, pelatih yang baru saja merengkuh 3 trofi Liga Europa secara beruntun bersama Sevilla.
Namun, head to head keduanya dalam 6 pertemuan terakhir berpihak kepada Barcelona dengan rekor 3 kemenangan berbanding 1 milik PSG. Singkatnya, di atas kertas, Blaugrana menjadi pihak yang lebih diunggulkan ketimbang Les Parisiens.
Sejak wasit Szymon Marciniak dari Polandia meniup peluit tanda kick off, statistik juga menunjukkan kalau Barca unggul penguasaan bola hingga 57% dan lebih banyak memegang bola dengan jumlah umpan akurat mencapai 90%. Namun, itu hanyalah angka semata.
Pada kenyataannya, PSG bermain brilian di hadapan pendukungnya. Mereka lebih banyak berlari, lebih dulu mengambil inisiatif serangan, lebih berani menekan, dan cepat dalam melancarkan serangan.
Kebuntuan pertama kali pecah di menit ke-18 ketika tendangan bebas melengkung Angel Di Maria dari jarak 20 meter membuat kiper Marc-Andre Ter Stegen mati langkah. Lima menit sebelum turun minum, PSG menutup babak pertama dengan keunggulan 2-0 setelah Julian Draxler sukses menyelesaikan umpan terobosan Marco Verratti.
Di babak kedua, Angel Di Maria kembali jadi momok bagi Barcelona. Memanfaatkan ruang dan waktu yang ia dapat di tengah lapangan, Di Maria berlari mendatar sebelum melepas tendangan melengkung nan indah yang lagi-lagi membuat Marc-Andre Ter Stegen bertekuk lutut.
Pesta PSG belum berakhir. 18 menit berselang, tepatnya di menit ke-72, Edinson Cavani berhasil menambah keunggulan tuan rumah menjadi 4-0.
Barcelona seperti tak berkutik malam itu. Apalah artinya memegang bola lebih banyak kalau hanya satu percobaan saja yang mengarah tepat sasaran? Sundulan Samuel Umtiti yang membentur tiang di menit-menit akhir pun menjadi akhir penderitaan pahit Barcelona di Paris.
Sebelum kekalahan 0-4 di Anfield dan tragedi pembantaian 8-2 oleh Bayern Munchen, kekalahan 0-4 di kandang PSG itu merupakan kekalahan terburuk Barca di kancah Eropa. Sebuah kado hari valentine yang amat buruk bagi para Cules.
Keajaiban Camp Nou: Barcelona 6-1 PSG
Kabar buruk bagi Barcelona. Perjalanan Liga Champions mereka terancam terhenti. Nasib Barca memang diujung tanduk.
Pasukan Luis Enrique memang masih punya peluang. Ini juga bukan kali pertama mereka tertinggal di leg pertama fase gugur Liga Champions. Pada babak 16 besar Liga Champions musim 2012/2013, Barca sukses membalikkan kekalahan 2-0 di kandang AC Milan menjadi kemenangan agregat 4-2 di Camp Nou.
Mundur ke musim 1999/2000, Barca juga pernah melakukan comeback di babak perempat final Liga Champions. Takluk 3-1 di leg pertama dari Chelsea, Barca berhasil menang 5-1 di leg kedua yang digelar di Camp Nou.
Akan tetapi, kali ini situasinya berbeda. Berdasarkan catatan The Analyst, sejak tahun 1955, sudah terjadi 231 pertandingan leg pertama kompetisi Eropa yang berakhir 4-0. Dan tim yang kalah tidak pernah melaju ke babak selanjutnya.
Namun, berkaca dari dua comeback yang pernah diciptakan para pendahulunya di Camp Nou, pasukan Luis Enrique tak patah arang. Tiga menit setelah wasit Deniz Aytekin meniup peluit tanda kick off, Luis Suarez menjawab harapan tersebut dengan golnya.
Lima menit sebelum turun minum, aksi Andres Iniesta membuat Layvin Kurzawa secara tak sengaja mencetak gol bunuh diri. Skor 2-0 menjadi penutup babak pertama.
Di babak kedua, gaya main kedua tim tak banyak mengalami perubahan. PSG tetap bermain rapat di belakang sembari menunggu kesempatan untuk menyerang balik. Sebaliknya, Barca makin gencar melancarkan serangan. Hasilnya, lima menit babak kedua berjalan, tuan rumah berhasil menambah skor lewat eksekusi penalti Lionel Messi.
Satu gol lagi untuk memaksa agregat sama kuat. Sayangnya, Barca justru lengah. Di menit ke-62, Edinson Cavani berhasil memanfaatkan kelengahan lini belakang Barca dalam mengantisipasi tendangan bebas untuk membobol gawang Marc-Andre Ter Stegen sekaligus mengubah agregat menjadi 5-3.
Gol Cavani tersebut seperti memupus harapan yang susah-susah dibangun Barcelona. Maklum saja, dengan masih berlakunya aturan gol tandang, pasukan Luis Enrique harus mencetak 3 gol lagi untuk membalikkan agregat. Dengan sisa waktu kurang dari 18 menit, agaknya cukup mustahil mencetak keajaiban.
Maka, ketika Neymar berhasil mencetak gol indah lewat sepakan free kick di menit ke-88, para Cules yang memadati Camp Nou tak merayakan gol tersebut semeriah sebelumnya dan bertepuk tangan dengan mimik datar.
Namun, perjuangan belum usai bagi para pemain Barcelona. Apalagi wasit memberi tambahan waktu sebanyak lima menit. Dan dewi fortuna menjawab perjuangan tersebut dengan uluran tangannya.
Di menit pertama babak tambahan waktu, Barca kembali mendapat hadiah penalti yang sukses diselesaikan oleh Neymar. Para Cules pun kembali lantang menyuarakan dukungannya.
Hingga akhirnya, jelang menit kelima babak tambahan waktu, Neymar kembali jadi aktor penting Blaugrana. Umpan silang lambungnya ke dalam kotak penalti PSG disambut oleh pemain pengganti, Sergi Roberto untuk mengubah skor menjadi 6-1.
Tak lama setelah gol tersebut, wasit Deniz Aytekin meniup peluit panjangnya. Laga pun berakhir untuk kemenangan Barcelona yang sukses membalikkan agregat menjadi 6-5.
“La Remontada” Ciptakan Gempa Mikro di Kota Catalan
Gol dari Sergi Roberto tak hanya mengirim Barcelona ke babak perempat final, tetapi juga memicu sebuah perayaan heboh di Camp Nou. Para pemain hingga seluruh staff Barcelona berlarian dan berpelukan di dalam lapangan. Bahkan beberapa suporter sampai masuk ke dalam lapangan dan larut dalam suka cita.
Sementara itu, para Cules yang duduk di bangku penonton berjingkrak kegirangan, kecuali PSG dan para pendukungnya yang terbilang sangat sedikit. Tak disangka, gemuruh yang diciptakan oleh 96.920 penonton yang hadir di Camp Nou malam itu menciptakan sebuah gempa mikro di kota Catalan.
Jaume Almera Institute of Earth Sciences (ICTJA-CSIC), yang letaknya kurang dari 1 mil dari stadion, beberapa kali mencatat pergerakan pada seismograf pada malam itu. Peneliti Jordi Diaz menjelaskan bagaimana gol kedua dan ketiga Barcelona menggerakkan alat perekam mereka sedikit lebih lebar dari biasanya, tetapi sempat turun ketika Cavani mencetak gol.
Catatan kembali naik saat gol kelima tercipta. Dan puncaknya terjadi saat Sergi Roberto mencetak gol yang menyebabkan terjadinya rekaman sebesar 1,0 skala Richter, yang secara resmi menjadikannya sebagai gempa mikro.
Efek dari gol Sergi Roberto ternyata juga tak hanya terjadi di dalam Camp Nou saja. Para pendukung Barcelona yang ramai-ramai menonton di bar juga larut dalam luapan emosi. Bahkan seorang penggemar yang apartemennya berjarak 3 mil dari Camp Nou mengaku kalau ia sampai dibangunkan oleh istrinya yang mengira kalau telah terjadi perampokan. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah para pendukung Barcelona tengah berpesta dengan membunyikan klakson di jalanan hingga menyulut kembang api.
Comeback yang dilakukan Barcelona malam itu memang layak dirayakan dengan gila. Sebab, hal tersebut menjadikan Barcelona tim pertama dalam sejarah Liga Champions yang mampu membalikkan ketertinggalan empat gol dari leg pertama. Laga comeback yang terjadi pada 8 Maret 2017 tersebut kemudian dikenal dengan julukan “La Remontada” yang berarti “Kebangkitan”. Dan sejak saat itu, kata remontada selalu dipakai di dunia sepak bola ketika sebuah tim berhasil melakukan sebuah comeback.
Barcelona Dibantu Wasit Ciptakan “La Remonatada”?
Setelah menciptakan comeback yang sangat luar biasa, langkah FC Barcelona di Liga Champions musim tersebut langsung terhenti di babak selanjutnya. Barca menghadapi situasi serupa tatkala tertinggal 0-3 dari Juventus di Turin. Kembali mengharap keajaiban, Barca gagal mengulang remontada setelah hanya bermain 0-0 di Camp Nou.
Hasil tersebut mungkin merupakan sebuah karma. Pasalnya, banyak pundit dan analis yang meyakini kalau Barcelona diuntungkan wasit di laga kontra PSG. Kepemimpinan wasit Deniz Aytekin sendiri mendapat kritik keras dari pers internasional. Bahkan di negaranya sendiri, ia juga dihujat.
Banyak pihak yang menilai kalau kemenangan PSG telah dirampok. Andai saat itu sistem VAR sudah digunakan, Barcelona juga diyakini gagal melakukan comeback. PSG sendiri langsung mengajukan gugatan. Namun, baru 3 tahun kemudian UEFA mengakui kalau Deniz Aytekin gagal melaksanakan tugasnya.
Sementara itu, mantan wasit FIFA asal Prancis, Tony Chapron berpendapat kalau sebagian besar kesalahan ada di tangan UEFA. Menurutnya, UEFA telah menunjuk seorang wasit dengan sedikit pengalaman di tingkat pertama dan seorang wasit tambahan, yakni Benjamin Brand yang tidak punya pengalaman dalam kompetisi. Kurangnya pengalaman dari wasit yang bertugas ini kemudian memicu lahirnya beberapa keputusan kontroversial.
Rangkain tuduhan dan pengakuan tersebut makin menemukan jalan kebenaran setelah Barcelona tersandung “Skandal Negreira”. Blaugrana diduga menyuap Jose Maria Enriquez Negreira, mantan Wakil Presiden Komite Wasit RFEF dengan uang haram senilai 7,3 juta euro antara tahun 2001 sampai 2018. Pembayaran tersebut dimaksudkan untuk jasa konsultasi supaya Barca tak dicurangi pengadil lapangan.
Negreira kemudian menganalisis laga-laga yang dimainkan Barcelona, termasuk “La Remonatada”. Singkat cerita, dalam salah satu laporan yang ditemukan oleh pihak berwajib, Negreira mengakui bahwa wasit Deniz Aytekin melakukan beberapa kesalahan fatal yang merugikan PSG.
Setidaknya, ada 3 kesalahan fatal Deniz Aytekin yang menguntungkan Barcelona. Pertama, tidak memberi PSG hadih penalti setelah Angel Di Maria dilanggar Javier Mascherno di menit ke-84. Aytekin mengabaikan pelanggaran tersebut dan menurut Negreira, Mascherano harusnya diberi kartu merah.
Kedua, menunjuk titik putih di akhir babak kedua setelah Luis Suarez dianggap dilanggar di kotak penalti. Menurut Negreira, hadiah penalti tersebut tidak tepat karena Suarez “memanfaatkan kontak dada yang ringan untuk menjatuhkan diri”.
Ketiga, penalti yang dieksekusi Lionel Messi di menit ke-50 juga seharusnya tidak diberikan. Barca mendapat hadiah penalti setelah Deniz Aytekin menganggap Neymar dilanggar di dalam kotak penalti. Menurut pandangan Negreira, itu merupakan sesuatu yang kasar.
Dalam tayangan ulang terlihat kelas kalau Thomas Meunier tidak sengaja melanggar Neymar. Ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Situasi tersebut dimanfaatkan Neymar yang mendekati Meunier sehingga ia ikut terjatuh.
Jadi, benar “La Remontada” Barcelona atas PSG dibantu oleh wasit?
Laporan Negreira tersebut sudah diselidiki oleh Pengadilan Barcelona sejak Maret tahun lalu. Sayangnya, hingga kini belum ada keputusan final yang tegas terkait “Skandal Negreira”. Seiring dengan berjalannya waktu, segala kontroversi yang terungkap dalam keberhasilan Barcelona menciptakan “La Remontada” juga seperti menguap begitu saja.
Suka atau tidak, dengan kontroversi yang menyertainya, “La Remontada” yang membuat Camp Nou dilanda gempa masih tercatat sebagai comeback terbaik dalam sejarah Liga Champions.
Referensi: UEFA, UEFA, ESPN, Goal, CNN, Barca Universal, AS.