Kisah-Kisah Legenda Klub Melatih Klub Itu Sendiri

spot_img

Terdapat berbagai macam latar belakang pelatih di sepak bola. Ada yang tak pernah jadi pemain seperti Jose Mourinho, Andre Villas-Boas, atau Rafael Benitez. Ada yang jadi pemain semenjana tapi mampu jadi pelatih top seperti Jurgen Klopp, David Moyes, atau Unai Emery.

Ada pula pelatih top yang dasarnya pemain hebat, seperti Zinedine Zidane, Pep Guardiola, atau Johan Cruyff. Kebalikannya, ada pemain top yang gagal total kala berpindah profesi sebagai pelatih, seperti Gary Neville, Filippo Inzaghi, atau Diego Maradona.

Semua nama di atas memiliki jalan ceritanya masing-masing. Bagaimanapun, setelah kita melihat apa yang dilakukan Zidane di Real Madrid, Guardiola di Barcelona, dan belakangan Ole Gunnar Solksjaer di Manchester United, apa yang bisa didapatkan klub jika mempekerjakan legenda klub di kursi kemudi?

Well, legenda klub jelas punya pengetahuan mendalam atas sebuah klub. Setelah bertahun-tahun menjalani sesi latihan sebagai pemain, menyerap ilmu taktik dari pelatih, rasanya para pensiunan pemain adalah orang yang paling cocok menjadi pelatih sepak bola.

Menjadi poin plus apa bila sang pemain merupakan andalan saat klub bersangkutan bergelimang gelar. Kemampuan teknik pelatih eks pemain dapat ditunjang dengan realita nonteknis seperti kecintaan fans, kepercayaan manajemen, atau kedekatan sejarah.

Sekarang mari kita lihat beberapa nama yang Starting Eleven contohkan tadi.

Zinedine Zidane adalah pelatih tersukses kedua sepanjang masa Real Madrid meski cuma melatih selama dua setengah tahun. Ia juga mempertahankan gelar Liga Champions tiga kali beruntun dengan skuad yang nyaris sama.

Saat ia pertama kali masuk pada Januari 2015, skuad berada dalam situasi tak kondusif selama Rafael Benitez berkuasa. Baik metode latihan maupun penerapan taktik, Benitez tak diterima oleh para pemain senior. Ketika ia dipecat, Zidane berupaya memulihkan suasana tim.

Ia tak menambah satu pemain pun dari bursa transfer. Beruntungnya, ia pernah bekerja sama dengan para pemain itu saat menjadi asisten pelatih Carlo Ancelotti semusim sebelumnya. Bersama Don Carlo dan Zidane, Madrid mampu juara Eropa.

Berbekal kompetensi taktikal yang mumpuni, Zidane mampu menjadikan Madrid sebagai ™ yang mampu menaklukkan Eropa lagi. Dan berbekal nama besar sebagai pemain yang melegenda di masanya, ia tak kesulitan mendapatkan hormat dari para pemain. Sesuatu yang tak bisa didapatkan sembarang pelatih.

Kasus serupa tapi sedikit berbeda terjadi pada Pep Guardiola. Ia bukan pemain terbaik dunia layaknya Zidane, tapi semasa bermain, ia adalah otak total voetbal Barcelona saat Johan Cruyff memegang komando pada 1990-an. Sepenuhnya dididik Barcelona, ia praktis memahami ideologi klub sampai akar-akarnya.

Saat ia mulai melatih pada 2008, Barca baru ditinggal Frank Rijkaard yang frustasi disalip Madrid di Liga Spanyol musim sebelumnya. Saat itu, meski tak punya pengalaman melatih, Guardiola dapat meyakinkan manajemen Barca bahwa pelatih yang tepat bagi klub tersebut adalah orang dalam, alih-alih orang asing seperti Jose Mourinho.

Hasilnya, selain mengulangi permainan indah yang dulu diusung Johan Cruyff, ia juga meningkatkan standar klub menjadi dua kali lipat, dengan jumlah trofi yang melampaui Cruyff juga. Barca pasca-Pep mungkin masih meraih trofi, tapi tak ada yang melakukannya dengan cinta seperti Pep.

Hal yang sama berlaku untuk Ole Gunnar Solskjaer. Manchester United yang ia ambil alih sebenarnya penuh bintang dan sanggup bersaing di level tertinggi sepak bola. Hanya saja, oleh pelatih sebelumnya, skuad tersebut tak hidup dengan bahagia.

Ia, yang berpengalaman membawa Molde juara liga Norwegia sebagai pelatih, cukup mengembalikan kebahagiaan dan senyuman di wajah para pemain.

Contoh buruk bagi legenda klub yang melatih bisa jadi Diego Maradona. Ia boleh saja jadi penyihir selama jadi pemain, tapi ketika jadi pelatih tim nasional Argentina, ia bukan siapa-siapa. Semasa bermain, ia bukan seorang pemikir di lapangan. Ia bahkan lebih sering berkutat dengan insiden di luar lapangan. Ketika pensiun, ia tak pernah punya rekam jejak mentereng sebagai pelatih. Jadilah Argentina tak bisa berbuat banyak di Piala Dunia 2010.

Kasus agak berbeda terjadi di AC MIlan. Klub tersebut berturut-turut ditangani para legenda seperti Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, hingga Gennaro Gattuso. Namun, prestasi tak kunjung diraih. Penyebabnya bisa jadi akibat tak mampu bersaing secara finansial, lalu belakangan gonjang-ganjing di sektor manajemen yang membuat klub tak bisa bergerak maju.

Yang jelas, selain harus punya kompetensi taktik mumpuni, para legenda yang ingin melatih harus memastikan klub tersebut punya materi yang mengilap, dan yang lebih penting, manajemen yang kondusif.

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru