Di luar profesinya sebagai pesepakbola profesional, Son Heung-min dikenal sebagai pribadi yang menyenangkan. Pemain asal Korea Selatan itu bisa jadi rekan kerja sekaligus teman yang baik, siapa pun partner bermainnya. Son bahkan dianggap sebagai pemain dengan selera humor yang bagus oleh rekan-rekannya.
Saking menyenangkannya, mantan pelatihnya di Tottenham, Antonio Conte menyebut Son sebagai pria yang ideal untuk menjadi menantunya kelak. Conte melontarkan pujian tersebut saat mencoba membela Son dari sorotan karena memulai musim 2022/23 dengan tidak begitu baik.
Son merupakan pria yang luar biasa. Kita semua pasti mengira kalau dirinya adalah pemain yang sangat mudah untuk dicintai. Namun, anggapan itu ternyata tak sepenuhnya benar. Meski dianggap sebagai menantu idaman, mantan pemain Bayer Leverkusen itu justru jadi pria paling dibenci oleh publik Jerman. Mengapa demikian?
Daftar Isi
Langsung ke Jerman
Setiap munculnya perasaan benci atau tidak suka terhadap seseorang, pasti ada alasan tertentu di baliknya. Namun, sebelum lebih jauh membahas soal alasan mengapa publik Jerman membenci Son Heung-min, mari kita telusuri lebih dulu, sebenarnya ada hubungan apa Son dengan masyarakat Jerman?
Well, dalam urusan sepakbola, mungkin bisa dibilang Son Heung-min lebih mengenal sepakbola Jerman daripada sepakbola Korea Selatan itu sendiri. Karena pemain yang kini sudah berusia 31 tahun itu mengawali karir profesionalnya di Jerman, bukan di Korea Selatan. Son hanya mencicipi sepakbola Korsel saat masih dibangku sekolah saja.
Pada tahun 2008, ia langsung diboyong klub asal Jerman, Hamburg SV. Pada tahun 2008 ia jadi salah satu pemain yang terjaring dalam proyek kerjasama internasional tentang pengembangan pemain muda antara Korea Selatan dan Jerman. Masih sangat muda, Son tak langsung tampil di skuad utama. Ia bergabung dengan akademi Hamburg terlebih dahulu.
Tentu ini jadi keputusan yang tepat, apalagi Son masih dianggap sebagai bakat mentah. Masih banyak yang harus ditingkatkan darinya. Bahkan Hamburg pun tak bisa menjamin masa depan Son. Itu semua tergantung pada hasil pengembangan diri selama berada di tim muda Hamburg.
Bergabung dengan Hamburg merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi Son. Karena pada saat itu masih sedikit pemain asal negaranya yang bisa merantau dan membangun karir di Eropa. Maka dari itu, Son pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia berusaha meningkatkan kemampuan dan memperbaiki posturnya agar tak begitu tertinggal dari pemain-pemain lain.
Perlakuan Rasisme
Mendapat privilege untuk menimba ilmu di Jerman nyatanya bukan hal yang mudah untuk dijalani oleh Son Heung-min. Apalagi di Jerman ia berstatus sebagai minoritas karena berasal dari Benua Asia, Benua yang kekuatan sepak bolanya selalu dipandang sebelah mata. Pun dengan Son yang juga diremehkan oleh masyarakat Jerman.
Son Heung-min mengungkapkan jika kepindahannya ke Jerman di usia yang masih belia membuat dirinya harus menghadapi beberapa kesulitan serta momen-momen yang tidak terbayangkan sebelumnya. Tak terkecuali perlakuan diskriminasi dan hinaan yang menyinggung etnisnya.
Sebagai kaum minoritas, Son Heung-Min yang memiliki perawakan berbeda kerap menjadi sasaran empuk aksi rasialisme. Son tak menyangka kalau masyarakat Jerman sulit menerima perbedaan. Tentu ini jadi tantangan tersendiri bagi dirinya yang sedang membangun karir di negeri orang.
Awalnya, Son tak begitu menghiraukan hinaan tersebut. Namun, makin hari makin banyak yang mengolok-oloknya. Terutama saat dirinya menampilkan performa yang buruk. Itu membuatnya sedih. Ia bahkan sempat berpikir untuk pulang saja ke Korea Selatan. Namun, setelah dipikir-pikir, Son memilih untuk legowo dan percaya kalau ini adalah bagian dari sebuah proses.
Fokusnya kini adalah terus membangun karir di Eropa agar bisa menyamai pencapaian seniornya terdahulu, Park Ji-sung. Akhirnya, Son memutuskan untuk menyelesaikan apa yang sudah ia mulai dengan menandatangani kontrak profesional pertamanya dengan Hamburg saat berulang tahun ke-18.
Memunculkan Dendam
Son Heung-min memang telah menutup rapat-rapat telinganya agar tak mendengarkan hinaan-hinaan dari masyarakat Jerman dan fokus dengan karirnya di Hamburg. Namun, hati kecilnya tak bisa berbohong. Ada dirinya yang lain mengatakan kalau perbuatan ini tak bisa didiamkan begitu saja. Perlakuan masyarakat Jerman harus mendapatkan balasan yang setimpal suatu saat nanti.
Niat tersebut tampaknya bukan isapan jempol belaka. Itu benar-benar dipikirkan oleh Son. “Saya menghadapi banyak rasisme saat berkarir di Jerman. Dan saat melewati masa yang sangat sulit, aku punya banyak pikiran di benakku, aku merasa harus membalas dendam suatu hari nanti,” ucap Son kepada Independent saat membahas soal rasisme yang kian marak di dunia sepakbola.
Tak ada motivasi paling dahsyat dari sebuah dendam. Pria yang dibuat patah hati oleh kekasihnya pun bisa menjadikan rasa sakit itu bahan bakar di dalam dirinya untuk mencapai suatu hal yang lebih baik. Begitupun Son. Dengan rasa sakit yang disimpannya selama ini, kapten tim nasional Korea Selatan itu terus meningkatkan performanya.
Hingga pada musim 2012/13, pemain yang berposisi sebagai sayap itu mencapai performa terbaiknya bersama Hamburg. Ia mencetak 12 gol dan dua assist dari 33 pertandingan Bundesliga. Performa menjanjikan itu membuat beberapa klub papan atas Bundesliga mulai berpikir, monster apa yang bersembunyi di dalam diri pemain asal Korea Selatan itu?
Bayer Leverkusen Jadi Pintu Keluar
Musim terbaiknya bersama Hamburg akhirnya mengantarkan Son Heung-min menapaki karir yang lebih baik. Ia bergabung dengan klub yang lebih baik pula, yakni Bayer Leverkusen pada tahun 2013. Dengan begitu, Son selangkah lebih dekat dengan mimpinya menjadi pemain hebat di Eropa.
Performa yang cukup apik dan bermain di klub yang notabene kualitasnya lebih oke tak membuat Son lepas dari cacian dan hinaan berbau rasialisme. Karena pada dasarnya Son tetap minoritas. Oleh karena itu, ia tetap jadi sasaran empuk bagi oknum-oknum fans yang tak suka padanya.
Tapi bodo amat, batin Son. Bak seorang tokoh antagonis di sebuah sinetron hidayah, saat mendengar hinaan rasisme, Son sudah kebal. Ia hanya bergumam di dalam benaknya. “Tunggu saja pembalasanku!” Berdampingan dengan perlakuan spesial dari masyarakat Jerman, Son terus berlatih.
Hari berganti bulan, Son akhirnya jadi andalan lini serang Bayer Leverkusen. Ia konsisten mencatatkan dua digit gol di musim 2013/14. Di musim perdananya itu, Son bahkan sudah mencetak hattrick bagi Die Werkself. Yang bikin lebih menarik, tiga gol itu dicetak ke mantan timnya, yakni Hamburg pada pekan ke-12.
Tak cukup sampai di situ, performa Son makin menjadi di musim kedua. Setelah membawa Bayer Leverkusen finis di urutan empat Bundesliga, Son tampil di Liga Champions. Itu jadi suatu hal yang tak terpikirkan bisa terwujud bersama tim asal Jerman, negara yang sedari awal sudah tak ramah baginya.
Meski tak meraih gelar apa pun bersama Bayer Leverkusen, Son Heung-min mengakhiri musim 2014/15 dengan sangat luar biasa. Selain tak tergantikan di skuad utama asuhan Roger Schmidt, Son telah berkontribusi dalam 21 gol Bayer Leverkusen di semua kompetisi. Itu catatan yang luar biasa bagi pemain Asia sepertinya.
Statistiknya bersama Bayer membuatnya menjadi pemain terbaik Korea Selatan tahun 2014 sekaligus jadi pintu keluar dari Jerman. Ya, setelah dua musim yang luar biasa, pada tahun 2015 Son Heung-min memutuskan untuk terbang ke Britania Raya untuk menjajal tantangan baru baru bersama Tottenham Hotspur.
Dicintai Publik Inggris
Son Heung-min yang sudah matang akhirnya menjajal liga terbaik di dunia, yakni Premier League. Berbeda dengan di Bundesliga, rasisme di Inggris tak sebrutal di sana. Tetap ada dan banyak, tapi tak separah itu. Toh, Son sudah lebih dewasa. Ia jauh lebih bijaksana dalam menghadapi masalah rasisme.
Tak sulit bagi Son untuk mencuri hati para publik pecinta sepakbola di Inggris. Dengan kecepatan, teknik, dan skill olah bolanya yang sudah matang, Son langsung jadi idola baru Tottenham Hotspur. Performanya bahkan langsung meledak di musim keduanya. Ia mencatatkan 20 gol serta sembilan assist di semua kompetisi musim 2016/17.
Selain itu, Son juga membangun kemitraan yang luar biasa bersama Harry Kane. Son dan Kane silih berganti mencetak gol dan assist untuk satu sama lain. Duet Son dan Kane jadi salah satu duo paling berbahaya kala itu. Kesuksesannya itu langsung dibanding-bandingkan dengan Park Ji-sung yang juga mencapai puncak karir di Liga Inggris bersama Manchester United.
Menjalani kehidupan yang jauh lebih bahagia di Inggris tak membuat Son melupakan luka lama di Jerman. Top skor Liga Inggris musim 2021/22 itu tetap saja menyimpan dendam tersebut sambil menunggu momen yang tepat untuk membalaskannya.
Piala Dunia 2018
Kecemerlangan Son Heung-min di Spurs tak disia-siakan Timnas Korea Selatan. Namanya jadi yang pertama disebutkan oleh Shin Tae-yong kala meracik skuad guna melakoni persiapan jelang Piala Dunia 2018. Son pun bersemangat menyambut turnamen antar negara paling akbar di dunia ini.
Piala Dunia yang diselenggarakan di Rusia itu jadi kompetisi yang dinanti-nanti oleh Son. Selain bakal jadi Piala Dunia keduanya, di edisi kali ini Korea Selatan akan tergabung di Grup F bersama Timnas Jerman. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Isi kepalanya campur aduk antara tugas negara dan dendam masa lalu yang sudah memuncak.
Der Panzer yang kala itu datang dengan status juara bertahan jelas diunggulkan. Namun, skuad arahan Joachim Low justru memperpanjang kutukan bahwa juara piala dunia edisi sebelumnya bakal kesulitan di fase grup. Itu dibuktikan dengan hanya menang sekali dari dua pertandingan awal.
Momen ini pun dimanfaatkan betul oleh Son Heung-min. Meski timnya baru saja menelan dua kali kekalahan, Son berniat memberikan satu kemenangan terakhir saat melakoni laga pamungkas melawan Jerman.
Tangisan Publik Jerman
Laga melawan Jerman sebetulnya sudah tak mempengaruhi nasib Korea Selatan di Piala Dunia 2018. Mereka sudah dipastikan gagal lolos ke babak 16 besar bahkan sebelum pertandingan dimulai. Namun, misi yang dibawa Son Heung-min bersama Korea Selatan berbeda. Yakni menggagalkan Jerman ke fase gugur.
Jerman masih berpeluang lolos kalau menang dengan angka yang telak atas Korea Selatan. Namun, Son Heung-min cs tak membiarkan itu terjadi. Ark Bars Arena jadi saksi dimana Korea Selatan menjadi aktor antagonis di pertandingan kali ini. Biar digempur habis-habisan, Ksatria Taeguk tak membiarkan bola melewati garis gawang mereka.
Hanya bermodalkan 26% penguasaan bola, Korea Selatan justru berhasil unggul melalui Kim Young-gwon di menit 90+2. Situasi tertekan ini membuat Der Panzer menaikan garis pertahanan. Bahkan, Manuel Neuer pun sampai maju ke sepertiga area pertahanan Korea Selatan.
Dari sinilah Son Heung-min membaca peluang. Ia menunggu di garis tengah sambil berharap bola yang dikuasai Neuer terlepas. Malapetaka itu pun benar terjadi di menit 90+6. Ketika Neuer kehilangan bola, Joo Se-joong langsung membuang bola ke depan. Bola tak bertuan itu pun langsung dikejar Son dan dikonversi menjadi gol kedua bagi Korea Selatan.
Meski pada akhirnya Korea Selatan juga tak lolos setelah hanya menempati urutan ketiga Grup F, Son tak ambil pusing. Son mengungkapkan bahwa hal tersebut adalah balas dendam yang sudah lama ia nantikan usai mendapat perlakuan rasis bertahun-tahun lalu saat berkarir di Jerman.
“Ketika orang menangis, saya (biasanya) ingin menghibur mereka dan memeluk mereka. Namun, ketika melihat orang Jerman yang menangis, (saya merasa) saya bisa membalas dendam dengan melakukan sesuatu yang saya suka,” tutur Son saat sesi jumpa pers seusai laga. Kendati demikian, perlakuan rasisme tetap dirasakan oleh Son. Tapi setidaknya ia sudah lega dengan apa yang sudah dilihat.
Sumber: Independent, France 24, CNN, Bundesliga