Kepulauan Faroe, “Negeri Domba” yang Gila Sepak Bola

spot_img

Pernahkah kamu membayangkan tinggal di lingkungan yang ekstrem? Curah hujan yang sangat tinggi, cuaca dingin sepanjang tahun hingga membuat rumput alami sulit tumbuh. Begitulah situasi di Kepulauan Faroe, sebuah negara mandiri yang masuk dalam wilayah otonomi Kerajaan Denmark.

Untuk hidup, masyarakat di sana sangat mengandalkan hasil laut. Maklum, mayoritas penduduk Kepulauan Faroe berprofesi sebagai nelayan. Konon katanya di negara tersebut populasi domba juga jauh lebih banyak ketimbang populasi manusianya. Secara harfiah, Faroe sendiri artinya domba, sehingga kepulauan tersebut juga kerap disebut sebagai Kepulauan Domba.

Dari uraian tadi, sulit membayangkan sepak bola dapat dimainkan dan berkembang di sana. Apalagi, wilayah tersebut lebih terkenal akan tradisi “Grind”, yakni sebuah ritual tahunan perburuan lumba-lumba yang dilakukan dengan cara menggiring mamalia tersebut ke pantai dan kemudian membunuhnya secara besar-besaran.

Tahun ini, tradisi tersebut kembali dilakukan, bahkan lebih sadis. Beberapa waktu lalu, orang-orang Faroe melakukan pembantaian terhadap sekitar 1.400 lumba-lumba hanya demi mencetak rekor dunia. Tak ayal, kegiatan tersebut dikecam banyak pihak, termasuk pecinta hewan dan aktivis lingkungan.

Namun kesampingankan sejenak isu tersebut. Di kesempatan kali ini, kita akan sama-sama melihat dan belajar betapa gilanya orang-orang Kepulauan Faroe terhadap sepak bola dan menjadikan olahraga tersebut menjadi olahraga terpopuler di sana.

Sejarah dan Perkembangan Sepak Bola di Kepulauan Faroe

Kepulauan Faroe terletak di antara Skotlandia dan Islandia di Samudra Atlantik. Sepak bola diperkirakan pertama kali masuk ke wilayah tersebut sekitar tahun 1892 ketika kesebelasan Tvoroyrar Boltfelag dibentuk oleh sekelompok pedagang dari Inggris. Namun, perkembangan sepak bola di sana sebenarnya terbilang cukup lambat dan sulit.

Hal tersebut tak lepas dari iklim di Kepulauan Faroe. Seperti yang sudah disinggung, cuaca di sana sangat ekstrem. Rata-rata hujan di sana berlangsung selama 210 hari per tahun. Beberapa sumber ada yang menyebut 265 hari, ada pula yang menyebut 300 hari dari 365 hari dalam setahun terjadi hujan.

Selain itu, angin di sana juga cukup kencang dan badai juga kerap terjadi. Alhasil, dengan kondisi alam yang seperti itu membuat tanah di Kepulauan Faroe tak dapat ditanami rumput alami. Akibatnya, pertandingan sepak bola di Kepulauan Faroe pertama kali dimainkan di atas lapangan berpasir dan mesti sangat mempertimbangkan kondisi cuaca.

Kejuaraan nasional di Kepulauan Faroe pertama kali dimulai pada tahun 1942, 50 tahun setelah sepak bola pertama kali dikenal dan 3 tahun setelah Asosiasi Olahraga Kepulauan Faroe (ISF) terbentuk. Sementara kompetisi Piala mulai digelar pada tahun 1955. Pada tahun 1979, tugas ISF digantikan oleh Asosiasi Sepak Bola Kepulauan Faroe (FSF) yang baru dibentuk pada 13 Januari 1979. Hadirnya asosiasi yang fokus terhadap sepak bola itulah yang mengubah wajah sepak bola di sana.

FSF punya beberapa tugas utama, diantaranya merencanakan dan menyelenggaraan turnamen nasional, serta memastikan kondisi pelatihan yang lebih baik untuk pelatih, ofisial, dan wasit. Namun langkah paling radikal yang dilakukan mereka adalah mengenalkan rumput sintesis pada medio 1986. Penggunaan rumput sintesis itulah yang membuat sepak bola makin berkembang dan menjadi makin populer.

Hingga hari ini, seluruh klub di Kepulauan Faroe menggunakan lapangan rumput sintesis. Namun uniknya, 2 stadion yang dipakai di laga internasional justru memakai rumput alami. Dua stadion tersebut adalah Svangaskard yang dapat menampung 6000 penonton dan Torsvollur yang punya kapasitas 5000 tempat duduk. Kini, ada sekitar 20 stadion di negara kecil tersebut dimana rata-rata kapasitasnya hanya sekitar 1000 hingga 2000 tempat duduk, sesuai dengan populasi penduduk di kota-kota di sana yang hanya berkisar 400 hingga 2000 orang.

Seperti yang sudah disinggung, sepak bola di sana begitu populer. Sekitar 60% penduduk Kepulauan Faroe memainkan sepak bola. Diperkirakan pula ada sekitar 10% dari total penduduk di sana yang terdaftar sebagai pemain sepak bola. Menurut catatan FIFA, ada sekitar 5 ribuan pemain yang terdapat. Jumlah itu belum termasuk 2 ribuan pemain yang belum terdaftar.

“Karena sepak bola sangat besar di Faroe, hampir semua orang memainkannya saat masih kecil. Ada banyak waktu, energi, dan sumber daya yang diinvestasikan dalam sepak bola di sini. Ada pekerjaan berbayar dan sukarelawan lokal di seluruh negeri. Akhir-akhir ini, banyak pesepakbola terbaik Faroe juga mendapatkan kontrak profesional di negara-negara seperti Denmark, Norwegia, Jerman, dan Islandia, dan ini tentu meningkatkan level tim nasional.” kata Eydun Trugvason, suporter lokal Kep. Faroe dikutip dari These Football Times.

Partisipasi masyarakat itulah yang membuat sepak bola di sana makin berkembang ke arah yang positif. Menurut catatan DW Kick off, negara mini tersebut kini punya 168 pelatih berlisensi UEFA atau sekitar 1 pelatih per 300 penduduk. Sebagai perbandingan, di Inggris hanya ada 1 pelatih untuk setiap 165 ribu penduduk.

Lalu, bagaimana situasi kompetisi sepak bola di Kepulauan Faroe?

Sejak kejuaraan nasional digelar pada 1942, kini Liga Sepak Bola di Kepulauan Faroe terdiri dari 4 Divisi. Divisi teratasnya bernama Effodeildin atau sejak 2005 silam lebih dikenal sebagai Faroe Islands Premier League yang diikuti oleh 10 kesebelasan.

Dalam ranking koefisien UEFA, Liga Kepulauan Faroe menempati posisi ke-44 dari 55 anggota UEFA. Juara liga akan mendapat tiket babak penyisihan Liga Champions, sementara peringkat 2 dan 3 mendapat jatah tiket kualifikasi babak pertama Liga Konferensi Eropa.

Havnar Boltfelag atau HB (baca: haube) adalah tim tersukses dengan koleksi 24 gelar juara, diikuti Klaksvikar Itrottarfelag atau KI (baca: ki) dengan koleksi 18 gelar. Sayangnya, tahun ini keduanya gagal menembus kompetisi Eropa. HB terhenti di babak ketiga kualifikasi UEFA Conference League, sementara KI langsung terhenti di babak pertama.

Perlu diketahui bahwa seluruh klub sepak bola di sana berstatus semi-profesional. Mayoritas pemain sepak bola di sana juga berstatus pekerja paruh waktu. Perikanan masih menjadi profesi utama di negara kepulauan tersebut.

Meski kompetisi sepak bola sudah berjalan begitu lama, Asosiasi Sepak Bola Kepulauan Faroe baru mendapat keanggotaan FIFA pada tahun 1988 dan baru menjadi anggota UEFA pada 1990. Berdasarkan populasinya, mereka tercatat sebagai negara UEFA terkecil keempat.

Sejauh ini negara mini tersebut belum pernah lolos ke Piala Dunia atau bahkan Piala Eropa. Jangankan lolos, kita lebih mengenal tim nasional Kepulauan Faroe sebagai lumbung gol negara-negara Eropa. Mereka juga kerap kalah dengan margin besar dari negara-negar besar. Namun jangan salah, peringkat mereka jauh lebih baik ketimbang Indonesia.

Per September 2021, timnas Kepulauan Faroe menempati peringkat 114 FIFA. Jauh di atas Indonesia yang menempati peringkat 175. Mereka pernah tercatat menempati peringkat 74 dunia pada Juli 2015 dan Oktober 2016. Hingga hari ini, ranking tersebut menjadi pencapaian terbaik timnas Kepulauan Faroe.

Salah satu pencapaian terbaik lainnya adalah ketika timnas Kepulauan Faroe sukses menundukkan Yunani pada 14 November 2014 di pertandingan kualifikasi Euro 2016. Secara tak terduga, mereka berhasil menang tipis 1-0 atas juara Euro 2004 itu. Itu merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa mengingat mayoritas penggawa tim nasional mereka berstatus pemain semi profesional.

Salah satunya adalah sang mantan kapten Frodi Benjaminsen. Usai menundukkan Yunani, ia kembali ke pekerjaan utamanya, yakni seorang tukang kayu. Kisah unik lainnya juga ditorehkan Torkil Nielsen, mantan pemain timnas era 90an. Selain pemain sepak bola, ia dikenal sebagai salah satu pecatur terbaik dunia.

Indonesia Harus Belajar dari Perjuangan Kepulauan Faroe di Sepak Bola

Kini, sudah makin banyak penggawa timnas Kepulauan Faroe yang berstatus pesepakbola profesional dan bermain di berbagai liga di Eropa. Seperti kiper Gunnar Nielsen. Ia adalah orang Kepulauan Faroe pertama yang mencatat penampilan di Liga Primer Inggris. Nielsen yang kini berusia 34 tahun tercatat pernah membela Blackburn Rovers dan Manchester City.

Namun untuk saat ini, nama Joan Simun Edmundsson bisa dibilang sebagai pesepakbola terbaik yang Kepulauan Faroe miliki. Musim lalu, ia mencatat rekor sebagai orang Faroe pertama yang pernah bermain dan mencetak gol di Bundesliga kala bermain untuk Arminia Bielefeld. Kini, Edmundsson yang berusia 30 tahun berstatus sebagai pemain Waasland-Beveren di Liga Belgia.

Apa yang dicapai negara mini ini di sepak bola bisa dibilang sangat luar biasa. Mereka memang bukan negara besar. Dengan segala hambatan yang dimilikinya, negara tersebut sukses menjadikan sepak bola begitu populer dan menjadi sebuah pilihan mata pencaharian yang layak.

Selain itu, jumlah pelatih berlisensi di sana sangat banyak. Kompetisi sepak bola di Kepulauan Faroe juga berjalan berjenjang, bahkan kompetisi untuk pemain muda dijalankan di 6 kelompok usia yang berbeda. Selain itu, mereka juga memiliki liga sepak bola wanita yang terdiri dari 2 divisi dan 4 kompetisi untuk kelompok usia dini.

Tiap tahunnya, Kepulauan Faroe mampu menghasilkan ribuan bibit unggul yang mampu menjamin masa depan cerah sepak bola mereka. Meski belum mencapai kejuaraan tingkat benua atau bahkan dunia, perkembangan sepak bola di sana makin maju.

Semoga kisah “Negeri Domba” yang gila sepak bola ini bisa menginspirasi insan sepak bola di negara kita. Jangan mau kalah dengan negara antah berantah yang populasi penduduknya bahkan kalah dengan populasi domba.


***
Sumber Referensi: PanditFootball, These Football Times, Guide to Faroe Islands, DW Kick off, Liputan 6, UEFA.

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru