Hanya meraih dua kemenangan dari enam laga, Timnas Brasil menduduki peringkat keenam di kualifikasi Piala Dunia 2026 zona CONMEBOL. Memang, Brasil masih aman karena posisi mereka berada di enam tim teratas yang jika minimal tetap berada di sana hingga babak kualifikasi tuntas, Brasil lolos ke Piala Dunia 2026.
Namun, ini pertanda buruk bagi tim yang pada edisi sebelumnya memuncaki klasemen di kualifikasi Piala Dunia zona CONMEBOL. Selecao kesulitan di setiap pertandingan yang kemarin mereka lakoni.
Dalam lima laga terakhir saja, Brasil hanya memenangkan pertandingan kontra Peru. Itu pun hanya mencetak satu gol. Sisanya, Selecao kalah dari Uruguay, Argentina, bahkan Kolombia. Menghadapi Venezuela saja, Brasil yang melepaskan tak kurang 15 tembakan gagal memetik kemenangan.
Daftar Isi
Kemunduran Timnas Brasil
Perjalanan Selecao ke Piala Dunia 2026 masih panjang. Tapi rentetan hasil negatif makin memperkuat anggapan kalau Timnas Brasil sedang berjalan mundur. Di kualifikasi Piala Dunia 2026 zona CONMEBOL, Brasil yang menempati posisi keenam sementara berada di bawah tim-tim yang harusnya berada di bawah mereka.
Itu baru di fase kualifikasi. Saat masuk ke putaran final Piala Dunia pun, Brasil acap kali terlunta-lunta. Seperti di edisi Qatar. Brasil gagal melaju ke semifinal setelah ditumbangkan oleh Kroasia. Padahal mereka lolos sebagai yang terbaik di zona CONMEBOL.
Kegagalan di Qatar hanya mengulangi kegagalan di edisi tahun 2018. Brasil waktu itu juga terhenti di perempat final oleh Belgia. Melihat dua edisi terakhir saja, sepertinya benar kalau Brasil sedang mengalami fase sulit.
Sejak menjuarai Piala Dunia 2002 dan masuk final di dua edisi beruntun sebelumnya, Brasil kehabisan tenaga untuk sampai ke final. Paling baik hanyalah mencapai semifinal di Piala Dunia 2014. Tapi, oh, ya ampun, ini adalah edisi Piala Dunia yang paling tidak sudi diingat oleh warga Brasil.
Waktu itu, di semifinal, Brasil dipermalukan Jerman 7-1 di rumahnya sendiri. Melihat angkanya saja, warga Brasil dan para penggemarnya, sudah seperti melaut di cuaca yang buruk.
Itu artinya 20 tahun lebih Brasil tidak juara atau sekadar menyentuh final Piala Dunia. Tentu saja memalukan. Apalagi tim-tim yang selalu menjegal mereka adalah tim dari Eropa. Der Panzer pada 2014, Belgia di edisi 2018, dan terakhir Kroasia yang menjegal mereka lewat adu penalti di Qatar.
Kejayaan Brasil
Tentu ini ironi. Terlebih Selecao punya gelar juara Piala Dunia terbanyak dari tim nasional lainnya. Brasil juga telah membangun warisan sepak bolanya sendiri. Dengan jogo bonito yang terkenal itu, Brasil melahirkan talenta-talenta berbakat dari lapangan hijau.
Ronaldo, Rivaldo, Ronaldinho, hingga Ricardo Kaka mendominasi Piala Dunia. Setiap kali Brasil bermain, rekaman yang muncul dalam benak kita adalah sepak bola yang indah. Ronaldinho yang menari di antara lawan. Ronaldo dengan insting dan akurasi tembakannya. Kemahiran seorang Rivaldo dalam melepas umpan. Dan tentu saja, Ricardo Kaka yang tampan dan menggoda.
Bertahun-tahun sepak bola indah yang, Pele menyebutnya jogo bonito, melekat pada Timnas Brasil. Gelar juara demi gelar juara direngkuh. Melihat pemain Brasil di atas lapangan bukan hanya melihatnya sebagai pesepakbola tapi seorang penari.
Sihir Jogo Bonito yang Tergerus Zaman
Namun, sepak bola modern memang kejam. Ia berkembang tanpa permisi. Sihir jogo bonito pun mulai kehilangan magisnya. Bukannya Timnas Brasil tidak memiliki pemain yang skillfull. Tentu kita masih bisa melihat Neymar dan Vinicius Junior menari. Sayangnya sepak bola tidak menerima bakat saja.
Sepak bola, mulai dari taktik, gaya, dan filosofi semuanya terlanjur berkembang. Dan Brasil tidak mengikuti arus perkembangan semacam itu. Setiap kali gagal, khususnya di Piala Dunia, Brasil memang selalu melakukan evaluasi. Timnas Brasil juga tak kurang inovasi. Terutama ketika Adenor Leonardo Bacchi alias Tite menukangi Timnas Brasil.
Statistical Comparison of Brazil 2016-2017 vs 2020-2021 during Conmebol World Cup Qualifying under Tite pic.twitter.com/53k42fZvvK
— All Things Brasil™ 🇧🇷 (@SelecaoTalk) November 19, 2021
Kala ditunjuk melatih pada 2016, Tite mengenalkan ide permainan yang koheren dan fungsional. Singkatnya, ide yang baru bagi Timnas Brasil. Ia mengelaborasi jogo bonito dengan sepak bola modern yang lebih menitikberatkan pada kolektivitas permainan. Tapi Tite keburu ditampar kenyataan.
Tite memang mengantarkan Brasil juara Copa America, tapi di Piala Dunia, dalam dua edisi terakhir pupus di perempat final. Gaya permainan yang diusung Tite akhirnya hancur dan berhenti setelah Piala Dunia 2022. Brazil kini hanya dilatih manajer interim Fernando Diniz dan terpaksa berubah lagi gaya bermainnya.
Konservatif dan Liga yang Kacau
Tapi masalah tidak hanya itu. Inovasi yang dilakukan Brasil tak totalitas, karena walau bagaimana mereka akan kembali ke ide semula. Brasil lagi-lagi mementingkan kemampuan individu. Sampai di sini Brasil sangat konservatif dan terkadang malah anti-intelektual. Padahal supremasi Eropa di kancah sepak bola itu juga karena mereka mengikuti perkembangan sepak bola.
Brasil cenderung naif dan tak mau meninggalkan permainan indah. Di negara ini, harapan yang dimunculkan tidak hanya harus menang, tapi juga mesti menang dengan cara yang atraktif. Permainan atraktif yang dimaksud adalah dengan bermain jogo bonito seperti era Bebeto maupun Garrincha.
Padahal mereka tidak bisa terus mengandalkan itu. Selain itu, liga domestik di Brasil termasuk liga yang kacau. Di kancah domestik, pelatih Brasil tidak didorong untuk meningkatkan pendidikan mereka. Justru tekanan demi tekanan terus diterima oleh para pelatih di Liga Brasil. Mereka selalu dihantui pemecatan.
Kekerasan Suporter
Kacaunya manajemen sistem liga yang buruk turut berkontribusi dalam mundurnya sepak bola Brasil. Lupakan dulu soal regenerasi jogo bonito. Kompetisi sepak bola Brasil juga tidak sehat. Selain korupsi yang menyelimuti, kekerasan antarsuporter juga bukan barang langka di liga domestik Brasil.
Lewat sebuah studi yang berjudul Practices of Fan Violence and Death in Brazil Football, dikutip Goal, sosiolog Mauricio Murad menyebut bahwa suporter klub-klub Brasil ada yang dipersenjatai, diorganisir, dan dilatih untuk melakukan kekerasan. Ini tentu saja berbahaya apabila terjadi bentrokan.
Masalahnya, klub-klub yang bersangkutan tidak berani mengambil tindakan untuk mengekang para suporternya yang rusuh. Di sisi lain, kepolisian Brasil juga tak bisa berbuat banyak. Malahan tak sedikit dari aparat yang menghentikan kerusuhan dengan kekerasan. Jika hal ini tidak diantisipasi, sepak bola Brasil jelas akan berjalan mundur.
The Arrest of An #Indigenous #Bolsonaro Supporter, José Acácio Sererê #Xavante, Sparked #Violence Across the Streets of #Brasília, #Brazil
— TRACTerrorism (@TracTerrorism) December 13, 2022
Read more: https://t.co/ZpGrsAaW3M pic.twitter.com/u0buejf41L
Menyalahkan Pihak Lain
Di sisi lain, legenda mereka, Cafu justru mengatakan kemunduran sepak bola Brasil karena tim-tim Liga Primer Inggris. Mengutip The Sun, mantan pemain AC Milan itu meyakini mentalitas para pemain Brasil dirusak oleh tim-tim Premier League. Anggapan itu muncul setelah melihat banyak talenta Brasil bermain di Liga Inggris.
Dominasi finansial Premier League memang sanggup untuk menarik pemain-pemain Brasil. Namun, menurut Cafu, pemain Brasil telah “dicuci otak” oleh media-media Inggris. Sehingga para pemain Brasil itu percaya mereka bermain di liga terbaik di dunia. Alhasil mentalitas untuk menang berkurang.
“Bayangkan, dicuci otak oleh media setiap minggunya bahwa Anda adalah yang terbaik di dunia. Padahal Anda belum tentu yang terbaik,” kata Cafu.
Menurut mantan pemain AS Roma itu, para pemain Brasil akan lebih meningkat mentalitasnya kalau bermain di liga seperti La Liga. Kekurangan karakter, menurutnya, juga menjadi faktor kemunduran sepak bola Brasil. Yah… Mungkin butuh waktu bertahun-tahun bagi Timnas Brasil berjaya lagi. Komet Halley saja melintas setiap 76 tahun sekali.
Sumber: TheSun, Eightify, SI, Sportskeeda, Forbes, TheGuardian, Goal, TheAthletic