Kebenaran Mengejutkan di Balik Suksesi Liverpool dari Klopp ke Arne Slot!

spot_img

Kalau ada yang mengatakan Jurgen Klopp telah pergi dari Liverpool, maka pendapat itu harus segera dibantah. Laga The Reds kontra Wolverhampton Wanderers pada 19 Mei 2024 lalu bukanlah upacara perpisahan. Di sore yang teduh di bawah langit Anfield itu, ribuan Kopites sadar kalau sejatinya Klopp tak mengucapkan selamat tinggal, melainkan hanya menyerahkan  tugas pada nahkoda berikutnya.

Meski secara de facto bukan lagi sebagai pelatih kepala. Tapi pria asal Jerman itu masih bersama Liverpool dengan meninggalkan warisan besarnya. Arne Slot selaku suksesor pun paham, selamanya Klopp memiliki tempat khusus di hati publik Anfield. Tak ada yang bisa menggesernya. Alhasil Slott hanya perlu meneruskan legacy Klopp dengan sebaik-baiknya usaha.

Di musim perdananya, Slot langsung membuat para Kopites jatuh cinta. Dan inilah kisah kejayaan Liverpool yang kini dibangun kembali di era Klopp dan kini diwariskan pada Arne Slot. Namun sebelum itu, jangan lupa untuk menekan tombol subscribe agar kamu nggak ketinggalan update menarik lainnya dari Starting Eleven Story

Liverpool: Klub Besar yang Tak Sabar Berproses

Sebelum Jurgen Klopp datang, Liverpool sudah punya nama besar di panggung sepak bola. Kota yang jadi pusat perdagangan di Inggris ini adalah rumah dari lima trofi Liga Champions sebelum era modern mengenal dominasi Barcelona dan Real Madrid. Namun, sejak periode 1991 hingga 2015, The Reds sepertinya mulai melupakan caranya bersabar.

Pasalnya Liverpool kerap gonta-ganti pelatih.  Dalam rentang waktu itu, Liverpool ditangani oleh tidak kurang dari 10 pelatih berbeda. Mulai dari Graeme Souness, Roy Evans, Gerard Houllier, Rafael Benitez, Roy Hodgson, Kenny Dalglish, hingga Brendan Rodgers. Setiap pelatih datang membawa janji, tapi yang mereka tinggalkan hanyalah serpihan mimpi yang belum selesai. Beberapa diantara mereka memang bisa mempersembahkan trofi, tapi segalanya masih terasa hampa.

Tak ada satu pun pelatih yang bertahan lebih dari enam tahun. Hal ini jadi penanda kalau Liverpool seperti terjebak di antara bayang-bayang masa lalu dan ketidaksabaran akan masa depan.  Hingga pada Oktober 2015, manajemen Liverpool membuat pengumuman penting dengan  menunjuk Jurgen Klopp sebagai juru taktik baru. Tanda tanya besar pun langsung mencuat, akankah pria Jerman berambut acak-acakan yang datang ke Inggris dengan gaya santai, jaket panjang, dan senyuman lebar ini bisa bertahan lama di Liverpool?

Membangun Pondasi: Kesabaran dan Keyakinan

Manajemen Liverpool menyodori Klopp dengan kontrak berdurasi tiga tahun. Tampaknya petinggi The Reds masih cari aman dan masih belum begitu percaya dengan proyek jangka panjang.  Padahal saat itu, Klopp yang menggantikan Brendan Rodgers datang dengan reputasi yang cukup mentereng. Pelatih dengan wajah mirip karakter El Profesor di serial La Casa De Papel ini sukses membawa Borussia Dortmund menggeser dominasi Bayern Munchen di Bundesliga. 

Namun, lima gelar termasuk dua diantaranya trofi Bundesliga bukanlah jaminan kalau Klopp bakal berjaya di Anfield. Bagaimanapun juga, atmosfer dan tekanan di Inggris tak bisa disamakan dengan iklim sepak bola Jerman. Apalagi sewaktu pertama kali menginjakan kaki di Anfield, Klopp tak punya kemewahan berarti.

Skuad yang diwarisi Klopp pada paruh musim 2015/16, dilihat sekilas pun sudah bisa divonis kalau levelnya jauh di bawah para rival. Lantas prestasi besar apa yang mau diharapkan dari skuad yang biasa-biasa saja?

Sebagai gambaran, saat itu di lini tengah ada nama Adam Lallana dan Emre Can. Sementara pos penyerang diisi oleh Divock Origi.  Sebagai pembanding, tak lama setelah penunjukan Klopp, Manchester City menunjuk Pep Guardiola sebagai pelatih anyar. Pep kala itu punya skuad warisan yang mewah, antara lain Fernandinho, Yaya Toure, David Silva, Samir Nasri, Kevin De Bruyne, hingga Sergio Aguero.

Namun Klopp sama sekali tak mengeluh. Perlahan namun pasti, pelatih kelahiran Stuttgart ini mencoba membentuk identitas permainan sambil tetap mengejar hasil optimal.  Dan di tengah proses itu, tanda-tanda perubahan mulai terlihat.

Di musim perdananya, Klopp mampu membawa Liverpool melaju ke final Piala Liga dengan menantang Manchester City. Juga ke final Liga Europa melawan Sevilla. Meski pada akhirnya di dua final tersebut belum bisa menghasilkan trofi, namun publik Anfield mulai meletakkan kepercayaan lebih kepada Klopp. 

Apalagi sang pelatih punya sisi pribadi yang menarik. Klopp dikenal sebagai sosok yang kharismatik, antusias, dan punya selera humor yang tinggi. Alhasil, manajemen The Reds pun sadar kalau Klopp bukan cuma tengah membangun fondasi tim tapi kultur sepak bola yang disukai masyarakat Liverpool.

Tak heran kalau kemudian kontrak Klopp diperbaharui lebih cepat. Belum sampai semusim, Klopp sudah menandatangani kontrak baru dengan durasi enam tahun. Bukan kontrak pendek seperti pelatih-pelatih sebelumnya  yang paling lama cuma bertahan dalam 5 tahun. Sebuah tanda bahwa Liverpool akhirnya bersedia melakukan satu hal penting: bersabar.

Dari musim ke musim, Klopp terus berpikir bagaimana caranya membayar lunas kepercayaan yang sudah diamanahkan padanya. Klopp pun terus melakukan eksperimen dengan mengotak-atik skuad melalui bursa transfer. Meski tak semua pemain yang didatangkan bisa memberi sumbangsih besar, tapi harus diakui Klopp merupakan salah satu pelatih yang jeli menggembangkan pemain.

Satu per satu pemain yang jadi kunci di era kejayaan Liverpool mulai berdatangan. Musim panas 2016, Sadio Mane didatangkan dari Southampton. Lalu pada 2017, Mohamed Salah tiba dari AS Roma dan dengan cepat menjelma menjadi ikon baru di Anfield. Lalu ada  Di belakang, kedatangan Virgil van Dijk, Andy Robertson, dan Alisson Becker menambal lubang terbesar dalam pertahanan Liverpool selama bertahun-tahun. 

Masih ada nama lain seperti Diogo Jota, Georginio Wijnaldum, Fabinho, Joel Matip, Ibrahima Konate dan lainnya. Yang paling mengagumkan, mereka tidak hanya dibeli. Mereka dipoles. Diberi peran. Diberi keyakinan. Lalu Klopp tidak hanya memperbaiki taktik, tapi mentalitas. Setiap pemain ditantang untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka. Dan ketika musim demi musim berlalu, keyakinan di Anfield makin tebal. Klopp tidak lagi sekadar pelatih. Ia adalah arsitek jenius yang membangun Liverpool bukan dengan bimsalabim tapi dengan mengumpulkan satu bata demi satu bata yang disusun jadi piramida megah nan kokoh.

Dengan skuad yang semakin membaik tiap musimnya, Klopp pun semakin membuat fans Liverpool kesemsem. Mereka lebih bersemangat lagi datang ke Anfield dan menyaksikan Liverpool bermain dimanapun, karena mereka tahu akan mendapat hiburan yang menyenangkan lewat permainan anak asuh Klopp.

Sang pelatih menyebut gaya main yang disajikannya sebagai “Heavy Metal Football”. Sebuah pertunjukan sepak bola dengan permainan cepat, intens, dan penuh determinasi kepada lawan, yang oleh media disebut sebagai gegenpressing.

Klopp melakukan semua itu tanpa pernah kehilangan arah. Ia bukan pelatih yang hanya mengejar kemenangan sesaat, tapi seorang arsitek yang menjaga agar Liverpool tetap menjadi tim yang bermain dengan jiwa, berlari dengan amarah, dan bertahan dengan kebanggaan. Di era sepak bola modern yang penuh pergantian pelatih instan dan filosofi serba cepat, Klopp menanamkan sesuatu yang langka konsistensi dalam perubahan. 

Menikmati Puncak: Dari Air Mata ke Takhta ( musim 2019-2020)

Dengan cara itulah Klopp membawa pasukannya konsisten berada di papan atas klasemen Premier League. Menjadi penantang serius dalam perburuan gelar domestik, sekaligus membuat Liverpool kembali berbicara banyak di pentas Liga Champions.

Lewat gegenpressing, Klopp mempersembahkan trofi demi trofi untuk Liverpool. Andai saja tak dikalahkan oleh Real Madrid di partai puncak UCL, Liverpool sudah menasbihkan diri jadi Raja di Benua Biru pada musim 2017/18.

Namun sayang, performa apik Liverpool kala itu harus berakhir antiklimaks. Usai menenggelamkan Porto, Manchester City, dan AS Roma di fase gugur, The Reds terpaksa menyerah dari Los Blancos di babak final.

Taktik jitu Klopp dirusak oleh blunder konyol Loris Karius dan cederanya Mo Salah akibat pelanggaran brutal Sergio Ramos. Tapi Klopp enggan beralasan. Dan bagaimanapun juga bisa mencapai final UCL adalah sebuah pencapaian  besar di musim itu.

Hingga di musim berikutnya, barulah kerja keras mempertemukan Klopp dan pasukannya dengan nasib baik. Liverpool back to back melaju ke final Liga Champions. Kali ini lawan yang dihadapi tidaklah asing, tiada lain dan tiada bukan adalah Tottenham Hotspur. Sebelum partai puncak yang digelar pada 2 Juni 2019 ini berlangsung, The Reds sudah dua kali mengalahkan The Lilywhites di ajang Premier League.

Modal positif ini membuat kepercayaan diri punggawa Liverpool melambung tinggi. Ditambah saat laga baru berjalan dua menit, anak asuh Klopp sudah mendapat kesempatan penalti karena handball Moussa Sissoko. Klopp pun berteriak girang di pinggir lapangan menyaksikan Mo Salah dengan sempurna mengeksekusi 12 pas. Rasa bahagia Klopp pun membuncah saat sepakan kaki kiri Divock Origi jelang menit ke-90 sukses mengoyak jala Hugo Lloris.

Malam itu, Wanda Metropolitano menjadi saksi bagaimana kerja keras, kesabaran, dan keyakinan dibayar lunas oleh Klopp. Tinta emas sejarah pun mencatat kalau trofi keenam UCL bagi Liverpool merupakan gelar perdana yang dipersembahkan oleh pria asal Jerman bernama Juergen Klopp.

Setelah itu Klopp tak berhenti menulis cerita indah. Pada 14 Agustus 2019, Klopp membawa pasukannya untuk memperebutkan UEFA Super Cup. Chelsea yang berstatus sebagai jawara Liga Eropa pun dibuat gigit jari lantaran kalah lewat babak adu penalti.

Lalu di penghujung tahun 2019, Klopp semakin menyempurnakan pencapaian lewat gelar juara Piala Dunia Antar Klub. Anak asuh Klopp sukses mengalahkan Flamengo. Namun ketiga capaian fantastis beruntun ini rasanya kurang lengkap lantaran di musim yang sama Liverpool gagal mengangkat trofi Premier League. Sebenarnya di musim itu, Liverpool hanya terpaut satu poin dari Manchester City yang berhasil keluar sebagai juara.

Namun di musim 2019/20 alias  musim kelimanya di Anfield, Klopp pun paham apa yang harus diperbuat. Misi utama mengakhiri penantian panjang pun dimulai dengan catatan impresif. Di delapan laga awal, The Reds sukses meraih poin sempurna.

Setelah ditahan imbang oleh Manchester United di pekan ke-9, The Reds  tampil seperti mesin perang yang tak bisa dihentikan.  Mereka mengalahkan setiap tim yang menghadang. Hingga ke pekan-27 tak ada satu pelatih dari klub pun yang mampu menghentikan sentuhan dingin Klopp.

Akhirnya, pada bulan Juni 2020 alias pekan ke-31, secara matematis Liverpool memastikan gelar Premier League musim 2019/20. Di musim itu, Liverpool mengakhiri kompetisi dengan sangat meyakinkan berkat torehan 99 poin alias selisih 18 poin dari pesaing terdekat yakni Manchester City.

Emosi warga kota Liverpool pun tumpah ruah. Bagaimana tidak, butuh waktu yang teramat panjang sampai 30 tahun untuk klub sebesar Liverpool bisa kembali meraih gelar Premier League. Butuh belasan pelatih yang berganti sampai akhirnya Klopp mengakhiri dahaga dengan trofi.

Walaupun di tengah pandemi dan Anfield tidak bisa menggelar pesta besar. Tapi seluruh kota Liverpool tetap bergembira dan tak kehabisan cara. Mereka menyambut kemenangan itu dengan parade virtual, mural Klopp menghiasi tembok-tembok kota, dan nyanyian suporter mengaung dari jendela-jendela rumah.

Bagi mereka itu bukan sekadar gelar. Itu adalah pemenuhan janji Klopp yang ketika pertama kali datang ke Anfield langsung mengajak orang-orang yang ragu beralih menjadi percaya. 

Melewati Badai: Pelajaran di Musim 2020/21 Tanpa Trofi

Namun kepercayaan fans pun kembali di uji di musim berikutnya.  Di mana pada musim 2020/21 jadi tahun yang menantang bagi Klopp. Musim itu, Liverpool mengalami krisis cedera terburuk dalam sejarah modern klub, terutama di lini belakang. Virgil van Dijk mengalami cedera ACL dalam derby Merseyside. Sang bek tangguh asal Belanda ini menerima  tekel dari Jordan Pickford dan harus absen sepanjang musim.

Joe Gomez kemudian juga cedera lutut saat latihan bersama timnas Inggris. Lalu Joel Matip mengalami cedera engkel dan cedera otot. Akibatnya, Klopp kehilangan seluruh bek tengah utamanya. Ia harus mengandalkan gelandang seperti Fabinho dan Jordan Henderson bermain sebagai bek tengah, serta darurat memainkan pemain muda.

Tanpa pondasi kokoh di belakang, kestabilan permainan Liverpool runtuh. Mereka kehilangan keseimbangan dan ritme pressing khas mereka. Akibat badai cedera dan kelelahan mental di tengah pandemi COVID-19 yang masih berlanjut, Liverpool memasuki fase suram. Bayangkan, dari Januari hingga Maret 2021, Liverpool mengalami 6 kekalahan beruntun di Anfield

Klopp juga tak kuasa membawa anak asuhnya melangkah jauh di FA Cup dan Carabao Cup.  Begitu juga di Liga Champions, Liverpool tersingkir di perempat final oleh Real Madrid Meskipun musim terasa hancur, Klopp menolak menyerah. Ia kembali mengatur ulang tim dengan pemain seadanya. Dan di luar dugaan, setelah semua kegagalan di semua turnamen, Liverpool justru menggila di 9 laga terakhir Premier League musim itu. 

Liverpool bisa mengalahkan Arsenal dan Manchester United dengan skor meyakinkan. Selain itu, Klopp juga mampu membawa The Reds menang dramatis kontra West Bromwich Albion, dimana gol sundulan Alisson Becker pada menit ke-95 jadi penyelamat. Sejauh ini momen tersebut jadi gol pertama dan satu-satunya yang dicetak oleh kiper dalam sejarah Liverpool di liga Inggris.

Liverpool pun menutup musim di posisi ketiga Premier League,  yang turut memastikan tiket Liga Champions musim berikutnya. Performa impresif di akhir musim ini menjadi bukti ketangguhan mental dan kemampuan adaptasi Liverpool dalam menghadapi situasi sulit, serta memperkuat reputasi Klopp sebagai pelatih yang mampu memotivasi timnya untuk bangkit dari keterpurukan yang mendera.

Kebangkitan yang Tak Sempurna di Musim 2021/22

Usai melewati badai, Klopp membuat Liverpool kembali menjadi tim yang lebih kuat. Pada musim 2021/22, Liverpool tidak hanya bermain bola, mereka melantunkan simfoni. Kompetisi demi kompetisi, laga per laga, dijejaki dengan penuh keyakinan. Di Carabao Cup, The Reds menaklukkan Chelsea lewat adu penalti di partai final. Trofi itu lalu dikawinkan dengan Piala FA yang juga direbut dari Chelsea.

Sayang, hasil manis di dua kompetisi itu tak sama di liga. Liverpool sejatinya bisa meraih gelar musim itu. Namun karena gagal memetik kemenangan di pekan-pekan kritis seperti menghadapi City maupun Tottenham Hotspur, Liverpool kalah dari Manchester City di perburuan gelar. Nestapa The Reds bertambah kala di final Liga Champions harus takluk dari Real Madrid. 

Bukan Gareth Bale atau Loris Karius yang menjadi mimpi buruk, tapi Thibaut Courtois. Kiper Belgia itu tampil seperti tembok tak tertembus, dan satu gol dari Vinicius Jr cukup untuk membuat impian The Reds pupus. Musim itu, Klopp dan pasukannya cuma meraih dua trofi kecil-kecilan.

Tak ada parade besar-besaran di musim itu, tapi Klopp menunjukan di tangannya, Liverpool punya resiliensi: sebuah kekuatan untuk terus bertarung.  Di musim itu, anak asuh Jurgen Klopp bermain dengan begitu hebat, namun tidak utuh. Begitu dominan, namun tak sempurna.

Kembali Terjerumus di Musim 2022/23

Kebangkitan tak sempurna di musim 2021/22 harus dihantam badai tak terduga. Liverpool memulai musim 2022/23 dengan sedikit gontai. Sadio Mane, salah satu biang gol Liverpool pergi ke Bayern Munchen. Tanpanya, garis serangan Klopp kehilangan keseimbangan. Apalagi Darwin Nunez yang didatangkan tak langsung nyetel.

Sejumlah pemain juga antre di ruang perawatan. Thiago, Diogo Jota, Luis Diaz dan beberapa lainnya terkulai di ruang perawatan akibat cedera. Lini tengah yang dulu agresif kini berjalan lambat. Fabinho tak lagi cepat menutup ruang. Jordan Henderson dan James Milner terlihat tua. Segalanya melambat dan bagai kehilangan daya.

Alhasil, kecuali Community Shield yang diraih di awal musim, tak ada trofi datang musim itu. Bahkan di Liga Inggris, pasukan Jurgen Klopp cuma bisa finis di posisi lima. Liverpool tak bermain di Liga Champions musim berikutnya. 

Musim 2023/24: Persembahan Terakhir Klopp

Meskipun mengalami musim demi musim yang tak menentu, harapan fans pada Klopp masih tak surut. Tapi harapan itu seperti dibunuh oleh Klopp itu sendiri. Musim 2023/24 belum berjalan jauh, tapi The Normal One sudah mengumumkan bahwa musim itu adalah musim terakhirnya di Anfield. Hati para kopites pun tersengat kaget. Dari segi Klopp, dirinya tak bisa bohong.

Mungkin Klopp tak pernah mengeluh. Tapi tubuh dan pikirannya mulai merasakan bebannya. Hampir satu dekade melatih klub sebesar Liverpool dengan segala dinamikanya, Klopp ternyata mulai merasakan energinya terkuras.

Jurgen Klopp: “Saya tidak bisa melakukan pekerjaan ini terus-menerus. Energi saya tidak cukup untuk melanjutkan di musim berikutnya”

Alhasil, sebelum cinta berubah jadi kebosanan atau kelelahan berubah jadi kehancuran, Klopp mengambil keputusan yang, meski berat, tetap harus dijalani. Sebab seorang pemimpin yang baik juga tahu kapan saatnya turun panggung.

Klopp pun menepati omongannya dengan tetap menuntaskan musim hingga akhir, dengan integritas dan komitmen penuh. Meski bayang-bayang perpisahan menyelimuti tim

Klopp tetap memimpin Liverpool bersaing di semua kompetisi: Liverpool bersaing ketat dengan Manchester City dan Arsenal dalam perburuan gelar.

Meski pada akhirnya tersingkir dari persaingan gelar di pekan-pekan akhir, tapi paling tidak musim itu Liverpool menjuarai Carabao Cup yang sekaligus menjadi gelar terakhir Klopp bersama Liverpool. Klopp menyebut gelar itu istimewa karena dimenangkan dengan skuad yang dihiasi pemain muda di bawah 20 tahun. Conor Bradley, Harvey Elliott hingga Jayden Danns bisa mengalahkan skuad Chelsea yang jauh lebih berpengalaman.

Arne Slot: Warisan dan Harapan

Singkat cerita, hari yang tak diinginkan oleh banyak fans Liverpool pun tiba. Pada 19 Mei 2024, di Anfield yang penuh namun diselimuti rasa gamang, Klopp resmi menyatakan perpisahan. Anehnya tidak ada air mata dari Klopp. Sepertinya dia sudah berlatih keras untuk tidak cengeng.

Meski begitu seluruh dunia tahu bahwa keputusan itu tidak mudah. Karena Klopp tidak hanya meninggalkan pekerjaan. Ia meninggalkan keluarga. Ia meninggalkan rumah. Tapi Klopp tidak pergi tanpa meninggalkan apa-apa. Filosofi bermain, mentalitas pantang menyerah, etos kerja adalah warisan yang ditinggalkannya.

Tidak hanya itu, Liverpool yang ia bangun bukan tim instan, tapi kesebelasan yang kokoh. Singkatnya, Klopp tak pernah benar-benar pergi karena dia telah menjadi bagian dari pondasi Anfield. Di momen yang sama, Arne Slot diumumkan sebagai penerusnya.

Pelatih muda asal Belanda yang pernah mengantar Feyenoord juara Eredivisie dengan gaya bermain menyerang dan struktur organisasi yang rapi.  Meski cukup tersohor di Belanda, masih saja banyak yang bertanya-tanya, siapa Arne Slot? Apa dia bisa menggantikan Klopp?

Meski tak menunjuk langsung penggantinya, Klopp percaya penuh kepada Arne Slot.  Pasalnya, Slot adalah pelatih muda penuh ide, seperti halnya Klopp ketika pertama kali datang ke Inggris. Ia menunjukkan kepercayaan itu lewat sebuah chants yang dinyanyikan di hadapan fans Liverpool.

Bab Pertama Arne Slot: Juara Liga Inggris!

Slot pun memulai bab pertamanya di Anfield. Awalnya, skeptisisme masih saja menyelimuti. Namun Arne Slot menunjukan kalau dia datang tidak untuk mengubah segalanya. Ia datang memang untuk melanjutkan warisan dari Klopp.  Slot menjaga intensitas permainan, mempertahankan pola pressing, dan merawat “mentality monsters” yang telah ditanam Klopp. 

Tapi Slot juga membawa beberapa sentuhan Belanda: permainan posisional lebih cair, pergerakan antar lini yang lebih dinamis, dan rotasi yang lebih segar. Ia pun mempertahankan sebagian besar staf pelatih lama. Musim 2024/25 yang jadi debutnya, menjadi musim penuh kejutan. Liverpool tampil konsisten, tajam, dan disiplin. Mereka menyingkirkan Manchester City dalam perebutan gelar, memenangkan laga-laga krusial dengan mentalitas juara yang tak goyah.

Di akhir musim Arne Slot sukses mengangkat trofi Premier League. Musim perdana yang manis. Dan di momen paling mengharukan, saat perayaan juara di Anfield, Slot yang berdiri di tengah lapangan, memimpin fans Liverpool untuk menyanyikan chants yang sama kepada Jurgen Klopp.

Namun kejayaan tidak selamanya mudah dipertahankan. Arne Slot kini memang berdiri sebagai pemenang. Tapi tantangan sesungguhnya baru dimulai. Ia harus menjaga konsistensi di liga yang brutal, memperbarui skuad tanpa kehilangan identitas, dan yang terpenting: ia harus keluar dari bayang-bayang Jurgen Klopp. Ia tidak bisa selamanya hidup sebagai “penerus Klopp”. Ia harus menulis warisannya sendiri.

Di ruang ganti, di ruang konferensi pers, dan di hati suporter, nama Klopp akan tetap hidup. Tapi Slot kini punya kans untuk menambahkan bab baru dalam kitab sejarah Liverpool. Dan sebagaimana Klopp membangun kejayaan dengan tangannya sendiri, Arne Slot kini mendapat kepercayaan untuk menjaga dan memperluas kejayaan itu dengan hatinya.

https://www.youtube.com/watch?v=Mgaah4hr_5c&t=19s

Gabung sekarang juga, Member Kami Batasi!

spot_img

ORIGINAL MERCHANDISE STARTING ELEVEN

Obral!
Obral!

Glory Glory Manchester United

Rp109,000Rp125,000
Obral!
Obral!

Cristiano Ronaldo Siuuuu...

Rp109,000Rp120,000

Artikel Terbaru