Ada alasan mengapa seorang pelatih masih disebut muda jika berusia 40-an, atau bahkan 30-an, serta baru pensiun di usia 70-an lewat. Ya, pelatih adalah jenis profesi yang selain membutuhkan kecerdasan, juga membutuhkan penghormatan dari orang-orang yang dilatih. Itulah sebabnya pelatih cenderung orang yang dituakan.
Namun, ada beberapa kasus yang menyalahi kebiasaan tersebut. Ada beberapa jenius yang meskipun masih tergolong bisa jadi pemain aktif, memilih langsung terjun ke dunia kepelatihan level tinggi. Julian Nagelsmann adalah contoh terbaru.
Saat ia dikontrak tiga tahun oleh Hoffenheim pada Februari 2016, ia masih berusia 29 tahun. Kini di tahun terakhir kontraknya, ia sudah menjadikan Hoffenheim sebagai penantang reguler Liga Champions.
Nagelsmann sebetulnya bercita-cita sebagai pemain profesional. Namun, cedera parah membuatnya hanya mentok di level U-19. Ia lalu berpaling ke jalur kepelatihan. Setapak demi setapak, ia menangani tim muda Hoffenheim di berbagai kelompok umur. Ia menyerap ilmu dari para senior kala bekerja sebagai asisten mereka.
Ia sudah memulai menangani tim senior pada 2013 saat berusia 25 tahun. Kala itu, ia bertindak sebagai asisten Frank Kramer yang jadi pelatih interim. Ia lalu kembali sebagai pelatih tim junior. Tiga tahun kemudian, Hoffenheim mempercayakan kursi pelatih tim utama kepadanya.
Ia memahami betul perbedaan antara melatih bocah akademi dan melatih para pemain profesional. Di akademi, ia menekankan unsur pendidikan demi masa depan mereka. Di tim utama, ia menangani para pemain dewasa yang sudah tahu apa yang harus dituju dan dilakukan. Semua pemain mendengarkannya meski ada beberapa pemain yang berusia lebih tua.
Hasilnya, di usia 31 tahun, ia sudah menangani lebih dari seratus laga Bundesliga, dan sudah memastikan masa depannya: ia akan menangani RB Leipzig mulai musim 2019/20. Tidak menutup kemungkinan, klubnya setelah Leipzig bisa jadi Bayern Munich atau klub besar Eropa lainnya, atau malah timnas Jerman.
Yang jelas, Nagelsmann menikmati budaya sepak bola Jerman yang gemar memberi kesempatan pada yang lebih muda. Domenico Tedesco di Schalke misalnya. Ia cuma berjarak dua tahun dari Nagelsmann, tapi sudah sanggup mengantarkan Schalke ke posisi Liga Champions di musim debutnya.
Iklim ini tak dapat dijumpai di Inggris. Negara ini terlalu mengedepankan aspek finansial dan memburu prestasi instan, jadi cenderung mempekerjakan orang yang sudah jadi. Alih-alih “membangun” kebesaran bersama pelatih muda, mereka memilih “mendatangkan” kebesaran dengan pelatih impor.
Tak ada pelatih lokal muda di Premier League. Pelatih termuda mereka adalah Eddie Howe, pria 40 tahun yang menangani Bournemouth sejak di League One. Jika pelatih Inggris ingin melatih di Premier League, cara terbaiknya adalah membawa sebuah klub promosi. Peluang kerja di Premier League tidak ramah bagi pelatih muda produk lokal.
Pernah ada kejadian pelatih muda, walaupun seorang asing, yang bekerja di Premier League. Penggemar Chelsea mungkin mengenalnya. Namanya Andre Villas-Boas. Ia datang ke Chelsea tepat setelah membawa FC Porto menjuarai kompetisi Eropa. Mirip Jose Mourinho, bukan?
Sayangnya, ia datang saat baru berusia 33 tahun. Waktu itu, di kamar ganti ada pemain senior berpengaruh dalam diri Frank Lampard dan Didier Drogba, yang cuma berselisih beberapa bulan dengannya. Saat ide banyak memainkan pemain muda tak membuahkan hasil, pemain-pemain senior tersebut, ditambah John Terry dan Ashley Cole, segera melawannya. Ia tak mendapat respek di ruang ganti, dan dipecat sebelum musim berakhir.
Di lembaran karier barunya, seiring bertambahnya usia, ia cukup sukses di Tottenham, walau akhirnya dipecat juga. Ia juga berhasil mengantarkan Zenit jadi juara Liga Rusia.
Di Indonesia, pelatih-pelatih muda cenderung berkutat di level akademi. Ini diperparah dengan rendahnya kepercayaan pelatih ke pemain muda, sehingga banyak pemain senior di atas 35 tahun yang masih jadi pilihan utama. Alhasil, dalam usia 45an, seorang pelatih masih disebut muda.
Pengecualian mungkin bisa ditujukan pada Rudy Eka Priyambada. Ia kelahiran 1982, lebih muda banyak pemain aktif Indonesia seperti Ismed Sofyan, Bambang Pamungkas, Beto Goncalves serta Maman Abdurrahman. Kariernya sebagai pelatih sudah membentang dari Monbulk Rangers Australia, Timnas U-19 Indonesia, Al Najma di Bahrain, hingga yang terbaru sebagai pelatih kepala PS Tira.
Nagelsmann, Villas-Boas, dan Rudy Eka mungkin punya cerita berbeda. Namun, mereka setidaknya bisa mementahkan anggapan bahwa seorang pelatih harus berasal dari kalangan tetua…