Miralem Pjanic menjadi salah satu pilar penting bagi tim asal Italia, Juventus. Direkrut dari AS Roma, pemain berusia 28 tahun ini sukses menjalankan perannya sebagai gelandang. Umpan-umpan matang dan tendangan yang begitu mematikan menjadi spesialis Miralem Pjanic dalam membombardir pertahanan lawan.
Namun jauh sebelum memiliki kehidupan layak seperti sekarang, Pjanic hanyalah seorang bocah yang selamat dari perang.
Miralem Pjanic, lahir pada 2 April 1990 di Tuzla, Yugoslavia, yang sekarang dikenal dengan Bosnia dan Herzegovina.
Dilansir dari The Guardian, Pjanic pernah berujar,
“kami dalam bahaya, sepakbola bukanlah yang paling penting.”
Pjanic menceritakan bagaimana perjuangan keluarganya dalam melarikan diri dari perang yang sedang terjadi kala itu. Sekitar tahun 1990, ada ketegangan politik yang berpotensi menimbulkan kejadian yang lebih buruk. Sang ayah, Fahrudin Pjanic, berprofesi sebagai pesepakbola profesional untuk Drina Zvornik.
Ayahnya tetap bermain disana meski situasi mulai kacau. Namun, ia ingin menyelamatkan keluarganya dari bahaya perang setelah situasi dinilai semakin buruk. Hingga pada akhirnya salah seorang rekan yang berada di Luxemburg menawarkan sebuah pekerjaan sebagai pesepakbola untuk klub disana.
Sedikit mendapat pencerahan, Fahrudin Pjanic pergi ke klubnya saat itu, Drina Zvornik, untuk meminta dokumen sebagai persyaratan pengunduran diri. Akan tetapi, dua kali percobaanya tak menghasilkan apapun. Pihak klub ngotot untuk mempertahankan Fahrudin sebagai pemainnya.
Karena merasa tidak aman dan mulai kesal, sang istri ikut turun tangan dan nekat untuk bertemu langsung dengan manajemen Drina Zvornik dengan menggendong Pjanic yang saat itu masih bayi.
Miralem Pjanic masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, cerita itu telah menjadi perjuangan hidup dalam keluarga,
“Ibuku mengatakan jika kami ingin pergi, namun klub tidak mengijinkan. Lalu aku menangis,” kenang Pjanic.
Tangisan itu yang pada akhirnya membuat pihak klub kesal sambil berkata,
“Baik, aku akan melakukannya hanya untuk anak kecil ini!”
Tepat setelah kejadian bersejarah tersebut, keluarganya pindah ke Luxemburg. Setelah menetap di Luxemburg, sang ayah bekerja sebagai pegawai pabrik dan tetap bermain bola. Ayahnya itu juga kerap membawa Pjanic ke tempat latihan dengan tujuan memperkenalkan sepakbola dengan Pjanic kecil.
“Ayahku adalah seorang gelandang, sama sepertiku,”
“ketika aku melihatnya bermain, aku mulai belajar. Dia memiliki kesempatan untuk bisa menjadi pemain hebat saat di Yugoslavia. Akan tetapi, dia tidak melakukannya,”
“Tujuannya adalah meninggalkan negara itu agar keluarganya selamat. Sepak bola bukanlah hal yang paling penting”
Pjanic juga mengaku senang ketika ia diajak ke tempat pelatihan sang ayah. Baginya, membantu sang ayah mengisi tas perlengkapannya merupakan tugas yang sangat membahagiakan.
Pjanic memulai karier juniornya di Schifflange pada 1997. Selang beberapa tahun, ia bergabung dengan FC Metz, sebuah klub yang berbasis di Lorraine, Perancis. Kemampuannya semakin tercium kala dirinya berseragam Lyon. Ia memiliki peran sentral yang mampu mengatur tempo permainan tim.
Setelah dinilai memiliki kemampuan spesial, Pjanic terbang ke kota Roma sebelum akhirnya bergabung dengan Juventus. Bersama La Vecchia Signora, Pjanic berhasil menyumbangkan gelar Scudetto dan Coppa Italia.
Meski sempat bermain untuk tim nasional Luxemburg U17, Pjanic memilih Bosnia sebagai kewarganegaraanya.
Dirinya mengaku jika gaya bermain sederhanalah yang mampu membuatnya sukses. Pjanic mengatakan jika ia tidak terlalu tertarik dengan gaya bermain rumit yang menggunakan skil tinggi. Dia lebih terpesona dengan kesederhanaan bermain.
Baginya, semua akan terlihat sempurna saat hal sederhana mampu merubah seluruh tim bermain bagus.