Apa yang membedakan Timnas Indonesia dan Timnas Jepang? Jika Timnas Indonesia mengambil pemain dari Eropa tapi merupakan pemain keturunan, sedangkan semua pemain dari Eropa yang dipanggil ke Timnas Jepang bukanlah pemain naturalisasi, melainkan pemain Jepang yang berkarier di sana.
Jepang di Piala Dunia 2022 juga menerapkan cara itu. Hajime Moriyasu memanggil setidaknya 22 pemain yang bermain di Eropa. Dan mereka tidak ada satu pun yang naturalisasi. Hasilnya, Timnas Jepang mendominasi Grup E. Padahal di sana ada Jerman dan Spanyol, dua kekuatan Eropa.
Usai Piala Dunia pemain Jepang makin merekah. Pemain Jepang yang bermain di Eropa berkecambah. Namun, mereka tidak hanya bermain atau mengisi skuad atau dimanfaatkan untuk menarik eksposur. Kebanyakan pemain Jepang yang bermain di Eropa mengisi posisi vital.
Daftar Isi
Banyaknya Pemain Jepang di Eropa
Sebagai contoh, di Liga Inggris saja ada Kaoru Mitoma. Pemain Jepang yang memperkuat Brighton and Hove Albion menjadi primadona di kompetisi seketat Liga Inggris. Mitoma yang juga seorang sarjana itu adalah pemain yang nyaris tidak pernah absen ketika The Seagulls dilatih oleh Roberto De Zerbi.
• Kaoru Mitoma (27)🇯🇵pic.twitter.com/nSI6pQvaaH
— Simon Yemane (@simonyemane) October 13, 2023
Sang pemain memiliki kecepatan, daya jelajahnya luas, dan lihai melewati pemain bertahan lawan. Pertahanan tim-tim raksasa seperti Liverpool dan Manchester United sudah sering diobok-obok oleh Mitoma. Selain Brighton, Arsenal juga punya pemain Jepang, yaitu Takehiro Tomiyasu.
Liverpool juga tak ketinggalan. The Reds kemarin mendatangkan gelandang bertahan Wataru Endo dari VfB Stuttgart. Di lain tempat, misalnya di Liga Jerman, Ko Itakura menjadi pemain reguler di Borussia Monchengladbach. Ayase Ueda yang bermain untuk Feyenoord.
OFFICIAL: Feyenoord have signed striker Ayase Ueda from Cercle Brugge for €9m. pic.twitter.com/vML66bW2nz
— Transfer News Central (@TransferNewsCen) August 3, 2023
Di Spanyol, aksi gemilang Takefusa Kubo selalu menjadi tontonan menarik para pendukung Real Sociedad. Dan tentu saja, jangan lupakan sosok Takumi Minamino. Usai tak lagi memperkuat Liverpool, Minamino musim ini menjadi ujung tombak AS Monaco. Mantan rekan Roberto Firmino itu salah satu pemain berpengaruh di skuad Adi Hutter.
Menurut FotMob, Minamino sudah memainkan tujuh laga di Ligue 1 dan mencetak tiga gol dan tiga asis. Akan sangat panjang untuk menyebutkan semua pemain Jepang yang bermain di Eropa. Sebab dalam sebuah laporan yang dikutip Japan Forward, lebih dari 100 pemain Jepang yang bermain di Eropa.
Transformasi Timnas Jepang dan Visi 100 Tahun
Dengan banyaknya pemain yang merumput di Eropa, Timnas Jepang bisa melakukan transformasi yang luar biasa. Di Piala Dunia 2022 kemarin, Jepang menjadi tim Asia yang memiliki skuad Eropa terbanyak, yakni 22 pemain. Korea Selatan saja hanya tujuh, Iran ada 13, dan Australia yang punya hubungan kuat dengan Inggris saja, hanya punya 15 pemain yang bermain di Eropa.
Ini menjadi peningkatan yang signifikan bagi Timnas Jepang itu sendiri. Sebab sejak Jepang pertama kali tampil di Piala Dunia 1998, tim ini hanya dihiasi oleh pemain domestik yang bermain di J-League. Timnas Jepang baru dihuni oleh pemain yang merumput di Eropa saat Piala Dunia 2002.
🇯🇵 Hajime Moriyasu's Japan side in their last 5 matches:
— ⚽️🏇⛳ Sports & Tips (@TipsandSport) October 16, 2023
⚽️ 22 goals scored
⚽️ 5 goals conceded
⚽️ 5 wins
📈 Playing a very attractive and dominant football
📈 3/5 last opponents played in the 2022 World Cup
📈 An #AsianCup2023 favourite pic.twitter.com/uBIhRDTDB7
Saat itu ada empat pemain Timnas Jepang yang bermain di Eropa. Jumlah ini stabil di edisi-edisi berikutnya. Tapi pada putaran final Piala Dunia 2014, jumlah pemain Timnas Jepang yang bermain di Eropa meningkat tajam menjadi 14 pemain. Lalu meningkat lagi di Piala Dunia 2018 di Rusia menjadi 16 pemain.
Ini memperlihatkan bahwa Jepang telah menjadi eksportir pemain berbakat ke Eropa. Kesuksesan itu juga tiada lain berkat program 100 tahun sepak bola Jepang. Sejak 1991 Federasi Sepak bola Jepang atau JFA telah menargetkan juara dunia pada tahun 2092.
Memang mesti menunggu sangat lama. Mungkin sampai lebih dari 10 kali berganti ketua federasi. Tapi program yang dicanangkan JFA tampak sangat serius, akuntabel, terstruktur, dan berjenjang. Tidak instan dan terkesan terima jadi.
En 1992 la Nippon Soccer Kyokai (JFA) diseñó y comenzó a implementar el "Plan 2092", con miras a transformarse en potencia futbolística. Tiene ese nombre pues es el año en el que determinaron que Japón estará en condiciones de ganar el mundial.
— LuisFelipeHenríquez (@LuisFelipeHF) November 23, 2022
Háblame de planificación. pic.twitter.com/fUbPvTByct
Pemain Jepang Pertama
Para pemain Jepang di Eropa telah mencontoh leluhurnya, Okudera Yasuhiko yang menjadi pemain Jepang pertama yang bermain di Eropa. Yasuhiko merintis karier dari Furukawa Electric atau sekarang JEF United Chiba dan menjadi anggota Timnas Jepang. Yasuhiko lantas merantau ke Eropa.
Sosok sang pemula bagi kiprah pesepakbola Asia di Eropa.
— Box2Box Football (@Box2BoxBola) October 5, 2021
Ini dia kisah Yasuhiko Okudera di Jerman. pic.twitter.com/Cu6vegiQdM
Klub Jerman Barat, FC Cologne adalah tim Eropa pertama yang dibelanya sejak 1977. Ia membantu tim itu juara Bundesliga dan DFB Pokal pada musim 1977/78. Yasuhiko juga bermain di Liga Champions 1978 yang saat itu masih bernama Kejuaraan Eropa.
Yasuhiko menghabiskan total sembilan musim di Jerman. Selain membela Cologne, ia juga memperkuat Hertha Berlin dan Werder Bremen. Tahun 1980-an, Kazuo Ozaki dan Yahiro Kazama mengikuti jejak Yasuhiko. Sayangnya, setelah itu tidak ada lagi pemain Jepang di Eropa sampai muncul nama Hidetoshi Nakata yang bermain bersama Perugia tahun 1998.
Titik Balik
Memasuki tahun 1990-an, sepak bola Jepang mulai keluar dari kesuraman. Liga Jepang atau J-League mulai direstorasi. Nah, dari sinilah ide 100 tahun sepak bola Jepang itu muncul. Tahun 1993, tim-tim J-League mulai mendatangkan pemain-pemain kelas atas, seperti Pierre Littbarski, Dragan Stojkovic, Gary Lineker, sampai Zico.
Tapi mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan asing. JFA juga mulai memprioritaskan pengembangan pemain muda. Hasilnya, Jepang mencapai final di AFC Youth Championship 1994 dan lolos untuk pertama kalinya ke Piala Dunia U-20. Namun, pencapaian itu tidak membuat Jepang percaya diri.
Mereka masih menganggap liga-liga papan atas Eropa belum bisa dijangkau oleh bintang domestik. Hingga dipatahkan oleh Nakata. Memasuki tahun 2000, Jepang mulai banyak mengekspor pemainnya ke Eropa. Tapi pada waktu itu, pemain Jepang masih diremehkan, terutama soal fisik.
Tidak hanya itu, pemain Jepang yang bermain di Eropa masih kesulitan beradaptasi. Masih tak bisa lepas dari kenyamanan budaya mereka sendiri. Pemain Jepang juga dianggap kurang supel. Tak banyak pemain Jepang melewati tantangan itu. Tapi beberapa mampu bertahan, seperti Shunsuke Nakamura, Daisuke Matsui, sampai Shinji Kagawa.
Fenomena Kagawa
Nama yang terakhir dianggap yang tersukses. Pemain yang memperkuat Timnas Jepang itu memulai kariernya dari Cerezo Osaka. Di usia 21 tahun, Shinji Kagawa sudah dilirik tim Bundesliga, Dortmund berkat jadi pencetak gol terbanyak pada 2009 di J-League 2. Kagawa diboyong Dortmund dengan harga yang sangat murah, 350 ribu euro saja.
OFFICIAL: Shinji Kagawa has signed a new three-year contract with Borussia Dortmund, keeping him at the club until June 2020. pic.twitter.com/LVzks2qGVg
— Squawka Live (@Squawka_Live) July 14, 2017
Di Dortmund, Kagawa membantu tim itu juara Bundesliga tahun 2011 dan 2012. Pada saat itulah tim-tim Jerman mulai melirik pemain Jepang. Dengan harga yang murah, tapi kualitas bagus. Begitulah pemain Jepang.
Dan ternyata, saat Kagawa merapat ke Bundesliga, pemain Jepang lainnya seperti Keisuke Honda, Yuto Nagatomo, Shinji Okazaki, dan Makoto Hasebe juga memberi pengaruh di klub Jerman atau di klub Eropa lainnya. Shinji Okazaki bahkan terlibat dalam skuad Leicester City yang menjuarai Liga Inggris pada 2016 silam.
Fokus Pengembangan ke Eropa dan Bantuan West Ham
Beberapa tahun terakhir, Jepang justru serius untuk menjajah pasar Eropa. Dilansir The Athletic, pengembangan generasi muda mereka akan berfokus pada pasar Eropa. Pertumbuhan sepak bola Jepang akan dimanfaatkan untuk menyukseskan proyek tersebut.
Sepak bola Jepang, kita tahu sudah tumbuh dari akar rumput. Mereka punya akademi-akademi sepak bola yang berkualitas. Bahkan pembinaan sudah dimulai dari sekolah menengah atas dan universitas. Kisah klub sepak bola Nankatsu dalam serial Captain Tsubasa itu gambaran betapa hebatnya pembinaan sepak bola Jepang dari akar rumput.
Nah, untuk meningkatkan permainan, terutama di kompetisi domestik macam J-League, Jepang menggandeng West Ham United. Tahun 2016, demi meningkatkan kualitas pemain, dewan teknis mereka berkunjung ke akademi-akademi Eropa. Salah satunya ke West Ham.
West Ham under 23 came from behind to beat Newcastle 2-1 to gain promotion to premier league two. Welldone academy director Terry Westley dg pic.twitter.com/MqfYphnWxn
— David Gold (@davidgold) May 16, 2017
Hal itu dilakukan demi mempelajari akademi Eropa untuk kemudian menerapkannya ke akademi-akademi sepak bola di Jepang. Bukan mencari pemain diaspora untuk dinaturalisasi. Seserius itu Jepang membangun sepak bola dari akar rumput. Wajar kalau hari ini Jepang mulai menuai apa yang mereka tanam.
Para pemain terbaiknya mulai banyak yang keluar negeri, tidak hanya Eropa. Terbukti, menurut riset CIES, jumlah pemain Jepang yang abroad meningkat hingga 59,4% pada tahun 2023. Dengan begitu, para penikmat sepak bola tidak perlu kaget kalau suatu saat nanti, Timnas Jepang tiba-tiba bisa mencapai final Piala Dunia.
Sumber: TheAthletic, Nippon, AA, BreakingTheLines, iNEWS, CIES