Daniel Agger menjalani karier bersama Liverpool lebih lama daripada Luis Suarez atau Fernando Torres. Ia juga pernah didapuk sebagai wakil kapten, menjadi deputi bagi Steven Gerrard. Kariernya di Anfield merentang dari era Rafael Benitez, Roy Hodgson, Kenny Dalglish, hingga Brendan Rodgers.
Sejak didatangkan guna melapis Sami Hyppia dan Jamie Carragher pada Januari 2006, Agger total menghabiskan delapan setengah musim membela The Reds. Sayangnya, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang perawatan. Cedera silih berganti merasuki tubuhnya. Mulai dari masalah lutut, paha, otot betis, tulang rusuk, hingga cedera punggung.
Bersama Liverpool, Agger sanggup membukukan 384 penampilan, tapi tubuhnya perlahan keropos. Ia punya masalah punggung akut. Menurutnya, ia hanya sanggup mengeluarkan 70% atau 80% kemampuan selama musim-musim terakhirnya di Anfield. Belakangan, Agger mengunggah sebuah potret duel udara dirinya dengan eks striker Singapura dan Arema, Mohd Noh Alam Shah, pada pramusim 2009. Ia menyebut, cedera yang dialami akibat duel tersebut sebagai “awal dari semua masalah punggungnya”.
Dalam wawancara dengan The Guardian, Agger membeberkan perjalanan kariernya mungkin bisa menjadi contoh bagi para pemain muda agar tidak mudah mengkonsumsi pil pereda rasa sakit. Bagaimana tidak, akibat cedera punggung, sakit yang dirasakannya menjalar ke lutut dan timitnya.
Kepindahannya dari Liverpool pada 2014, hanya setahun sesudah didapuk sebagai wakil kapten, dalam usia 29 tahun, cukup muda untuk turun level Premier League, diakuinya karena fisiknya sudah tak mampu kompetitif dengan tuntutan Premier League.
Parahnya, fisiknya juga tak lagi kuat meski sudah turun kasta hanya berkompetisi di Liga Denmark bersama Brondby. Adalah laga Derby Ibukota kontra FC Copenhagen pada 8 Maret 2015 yang membuatnya berpikir ia harus berhenti.
Seminggu sebelum laga panas melawan Copenhagen, Agger mengalami cedera dan amat diragukan tampi. Namun, ia ngebet ingin bermain, yang membuatnya memaksakan menelan obat-obatan jauh dari dosis seharusnya. Obat anti-inflamasi, atau anti-nyeri, yang ia telan seharusnya berdosis enam butir tiap tiga hari. Agger nyatanya memilih mengkonsumsi enam pil itu dalam sehari.
Tentu saja, efek samping dari konsumsi berlebih tersebut adalah Agger sering merasa lesu. Ia mengakali lemah lesunya tersebut dengan meminum kafein.
Sayangnya, Agger tetap mengkonsumsi pil itu di atas dosis seharusnya tiap hari. Di hari pertandingan, dia menelan dua pil pada pagi hari. Ia lalu menelan dua pil lagi di pertemuan pra pertandingan di kandang Brondby. Efek samping dari empat pil itu sudah dirasakan dalam bis menuju stadion Parken, kandang Copenhagen. Agger tertidur dalam bis. Rekan setimnya, Martin Ornskov, membangunkannya dan mengatakan bahwa ia tak pernah melihat pemain sepak bola tidur dalam perjalanan ke stadion.
Agger disarankan untuk tak memaksakan bermain, tapi setelah pemanasan, ia memutuskan mengambil kaus dan mengawali laga. Ia sebelumnya sudah menenggak kafein dan minuman berenergi.
Pertandingan berjalan pun berjalan, dan Agger tampak kesulitan mengimbangi irama tim. Visinya memudar, ia tak bisa mencerna apa yang terjadi di sekitarnya. Di awal pertandingan, ia mencoba meng-intersep bola lambung yang mengarah ke pertahanan Brondby, tapi malah ia tak sanggup memperkirakan arah bola, yang malah mengenai lengannya.
Setelah 29 menit, ia kolaps, terpaksa diganti, lantas duduk di bangku cadangan. Dalam kondisi anteng seperti itu pun, Agger tak kuat dan terpaksa dibawa ke ruang medis. Bagian ini bukan diceritakan oleh Agger karena ia tak ingat apa pun kejadian ini.
Malamnya, ia pulang ke rumah,. Istrinya tak berkata apa-apa karena sudah sejak lama memperingatkan Agger agar tak terlalu banyak menelan pil. Sejak saat itu, Agger mulai menurut dan tak lagi banyak mengkonsumsi obat-obatan.
Empat belas bulan kemudian, ia menyebut sudah tak sanggup lagi secara fisik dan mental. Ia pensiun hanya dalam usia 31 tahun. Ia berharap atlet-atlet lainnya sepenuhnya peduli betapa berbahayanya mengkonsumsi obat-obatan secara berlebihan …