Empat hari sebelum undian 16 besar Liga Champions, Maurizio Sarri berharap bertemu Barcelona di fase gugur. Pelatih Lazio itu ingin menciptakan pengalaman menghadapi Barcelona sebagai pelatih. Namun, semesta enggan mendukung harapan Sarri sepenuhnya.
Lazio tidak menghadapi Barcelona di babak 16 besar Liga Champions musim ini. Namun begitu, paling tidak musuh yang dihadapi Aquilotti punya irisan kisah dengan Barcelona. Ya, tim itu adalah Bayern Munchen. Ingat Bayern Munchen mengalahkan Barcelona 8-2 di Liga Champions, kan?
Klub Jerman itu menjadikan para pemain Barca tak lebih dari bapak-bapak pegawai kantoran yang diajari main bola. Nah, klub itulah yang akan dihadapi Lazio-nya Sarri. Tentu Aquilotti bukan lawan sulit bagi Bayern Munchen. Bahkan cenderung mudah. Mengapa?
Daftar Isi
Head to Head
Lazio tidak pernah bisa mengalahkan Bayern Munchen dari era megalitikum sampai Pilpres 2024. Kedua tim baru bertemu dua kali dan Bayern Munchen selalu menang dalam dua laga tersebut. Pertemuan terakhir kedua tim terjadi pada gelaran Liga Champions musim 2020/21.
Dua pertemuan terakhir itu juga terjadi di babak 16 besar Liga Champions. Di pertemuan pertama, Bayern Munchen mengalahkan Lazio di rumahnya sendiri. Skornya bahkan telak, 4-1. Lazio yang masih diasuh Simone Inzaghi di laga itu sama sekali tidak berkutik.
Die Roten masih dilatih Hansi Flick. Komposisi skuad mereka juga mentereng. Masih ada Robert Lewandowski yang memimpin di lini depan. Sejak menit awal, FC Hollywood bahkan sudah menekan. Laga baru berjalan sembilan menit, Lewandowski sudah mencetak gol pembuka.
Gol Lewy membuka keran gol Bayern Munchen. Sebelum babak pertama tuntas, Jamal Musiala dan Leroy Sane mencetak gol dan membuat Munchen sudah unggul 3-0. Di babak kedua alih-alih mencetak gol, Lazio justru kebobolan oleh pemainnya sendiri, Francesco Acerbi.
Skor 4-0 terpampang di babak kedua. Aquilotti baru bisa memperkecil ketinggalan di menit 49 lewat Joaquin Correa. Itu satu-satunya gol yang dicetak Lazio. Di laga kedua, Lazio yang bertandang ke Allianz Arena lagi-lagi tak bisa apa-apa. Mereka kalah 1-2.
Bayern Munchen Lebih Berpengalaman di Liga Champions
Itu baru head to head. Perkara pengalaman di Liga Champions, Lazio juga tertinggal jauh. Tim dari Roma itu acap kali terseok-seok di Liga Champions. Bahkan Lazio hanya pernah tiga kali lolos ke fase gugur. Itu terjadi pada musim 1999/2000, 2020/21, dan musim ini.
Sebagai catatan, di musim 1999/2000, format 16 besar belum digunakan. Nah, di musim tersebut Lazio lolos ke fase grup kedua dan melaju hingga perempat final. Namun, di babak delapan besar, Valencia tak bisa ditaklukkan Lazio. Si elang dicabik-cabik kelelawar lewat agregat 3-5.
Di sisi lain Bayern Munchen adalah pemain besar di Liga Champions. Tidak lolos ke fase gugur barang langka bagi The Bavarians. Lihat saja, sejak 1995, Die Roten hanya sekali tidak melangkah ke fase gugur. Ya, sekali saja di musim 2002/03.
Bayern Munchen selalu melangkah ke final dalam enam edisi sejak 1995. Dan FC Hollywood menjuarainya tiga kali. Mereka juga setidaknya 12 kali melaju ke semifinal. Luar biasanya lagi pelatih Bayern Munchen juga punya segudang pengalaman di Liga Champions.
On this day last year, Thomas Tuchel was named The Best Men's Coach after winning both the Champions League and UEFA Super Cup in his first year in charge of Chelsea.
— B/R Football (@brfootball) January 17, 2023
How times change…😳 pic.twitter.com/jwHSNAZTUF
Selain pernah menjuarainya, Thomas Tuchel juga akrab dengan fase gugur Liga Champions. Terbukti sudah tujuh kali Tuchel membawa timnya lolos ke perempat final. Dortmund, PSG, Chelsea, bahkan Bayern Munchen sudah pernah dibawanya hingga delapan besar.
Sarri? Pelatih ini memang menjuarai Liga Eropa, tapi di Liga Champions Sarri bukanlah ahlinya. Allenatore kelahiran Naples itu bahkan tidak pernah sanggup membawa timnya ke delapan besar. Sekalipun itu Juventus.
Kejeniusan Thomas Tuchel
Pengalaman Tuchel menjadikan Bayern Munchen 20 langkah lebih maju dari Lazio. Pengalaman dan kecerdasan taktiknya membuktikan itu. Setelah diberi mandat sebagai pelatih Die Roten, Tuchel langsung bekerja sepenuh hati.
Ia nyaris gagal musim lalu. Tapi trofi Bundesliga masih berlabuh ke Allianz Arena. Kegagalan di Liga Champions musim lalu tidak akan diulangi oleh Tuchel. Sejak tiba di Allianz Arena, Tuchel menerapkan sepak bola yang “cepat dan lancar”.
Gaya permainannya adalah umpan-umpan tajam dan kolaborasi di sepertiga akhir pertahanan lawan. Seperti yang sudah-sudah, Munchen selalu tampil bagus di fase grup. Musim ini Die Roten belum terkalahkan di fase grup Liga Champions. Padahal ada Manchester United di sana.
🔴🏆 BAYERN MÜNCHEN MADE CHAMPIONS LEAGUE HISTORY ⚪️
— George 💎 (@positive0027) November 8, 2023
◉ Bayern are first team in Champions League history to win 16 group stage home games in a row.
◉ Bayern also extended unbeaten run to 38 Champions League group stage matches without a loss.
◉ Bayern have now won 17… pic.twitter.com/cUVEwXrDZJ
Keberadaan Harry Kane dan On Fire Pemain Anyar
Harry Kane menjadi kepingan puzzle yang menyempurnakan taktik Tuchel. Kane tentu saja mesin pencetak gol. Musim ini ia benar-benar menggila di Bayern Munchen. Setidaknya 24 gol dari 21 laga di Bundesliga sudah dibukukan. Di Liga Champions, eks pemain Leicester City itu mengoleksi empat gol dari enam pertandingan.
Selama di Liga Inggris, Tuchel sudah mengamati kualitas Harry Kane. Sehingga oleh Tuchel ia tidak hanya dimanfaatkan sebagai lumbung gol, tapi juga sosok yang menghidupkan permainan Die Roten. Kane yang juga sering turun ke belakang menjelma sebagai agen penghubung antarlini.
Most goals scored in their first Bundesliga season for Bayern:
— Squawka (@Squawka) February 3, 2024
◎ 24 – Luca Toni (2007/08)
◉ 24 – Harry Kane (2023/24)
Harry equals another record. 💪 pic.twitter.com/vLf5KkAgVl
Dibantu pemain cepat seperti Kingsley Coman, Leroy Sane, dan Jamal Musiala, Kane makin trengginas di lini depan. Dengan kecepatan para pemain tadi, plus insting mencetak gol Harry Kane, Munchen berada di atas angin. Ditambah Munchen juga memiliki amunisi baru.
Eric Dier misalnya. Pemain yang pernah ke final Liga Champions itu akan jadi senjata tempur baru. Belum lagi Sacha Boey. Pemain Galatasaray itu mengesankan di mata Tuchel ketika menghadapi Die Roten di fase grup. Sehingga Boey pun diboyong pada Januari kemarin.
Rekor Tandang Munchen
Laga yang berlangsung 15 Februari mendatang, Die Roten memang bertindak sebagai tamu. Tapi Bayern Munchen telah memenangkan tujuh dari delapan pertandingan tandang terakhir mereka di Liga Champions. Itu termasuk kemenangan atas Inter, Barcelona, PSG, dan Manchester United.
Kemenangan 2-0 atas Inter di babak grup musim lalu adalah lawatan terakhir mereka ke Italia. Sementara itu, kemenangan tandang terakhir Bayern di fase gugur terjadi saat mengalahkan Lazio 4-1 di Olimpico. Ironisnya, di lain sisi Aquilotti tak punya rekor yang sedap dipandang ketika bermain kandang di Liga Champions.
Mereka hanya memenangkan dua dari tiga pertandingan kandang terakhir. Jika digabung dengan Liga Champions musim 2020/21, Lazio hanya memenangkan empat dari tujuh laga kandang. Betul, statistik tadi sudah lewat. Tapi hal itu setidaknya memperlihatkan betapa timpangnya kualitas Lazio dan Bayern Munchen.
Lazio yang Serba Susah
Hal itu makin meyakinkan jika melihat nasib Lazio belakangan ini. Timnya Sarri masih susah payah di Serie A. Sampai giornata 23, Lazio bahkan sudah menelan delapan kekalahan dan baru mengoleksi 37 poin. Lazio hanya duduk di posisi delapan di tabel klasemen.
Jangankan meraih kemenangan, cetak gol saja kesulitan. Di Serie A, Lazio baru mengemas 28 gol dari 23 laga. Jumlah itu bahkan jauh lebih sedikit dari Frosinone (32 gol) dan Sassuolo (29 gol) yang berada jauh di belakang Lazio. Catatan Lazio di Liga Champions juga sama buruknya di kompetisi domestik.
Lazio bisa lolos hanya sebagai runner-up di belakang Atletico Madrid. Mereka kalah dua kali dan cuma mengumpulkan 10 poin. Bahkan nih, Aquilotti cuma sanggup mencetak tujuh gol di fase grup Liga Champions. Jumlah golnya bahkan paling sedikit dari seluruh runner-up grup yang lolos ke 16 besar. Ngenes, kan?
Kekuatan Lazio
Lalu, apa dong kekuatan Lazio? Jawabannya “Sarriball”. Skema 4-3-3 pasti akan digunakan Sarri. Ia akan mengandalkan kekuatan pemain tengah seperti Luis Alberto yang diberi kebebasan bergerak. Soliditas pemain belakang seperti Romagnoli, Patric, maupun Mario Gila ditambah ketangguhan Ivan Provedel akan menjadi basis kekuatan dalam bertahan.
Lazio memang runner-up yang paling sedikit mencetak gol. Tapi pasukan Sarri juga menjadi runner-up yang paling sedikit kebobolan di fase grup setelah Inter. Lazio hanya kebobolan tujuh gol di fase grup Liga Champions musim ini.
Ciro Immobile 2️⃣0️⃣0️⃣⚽🇮🇹#Lazio #Immobile pic.twitter.com/wqGnqf3JvO
— Mr. Taylor (@MrTayMCM) February 11, 2024
Perihal menyerang, Lazio sudah pasti akan mengandalkan striker sepuh, Ciro Immobile. Atau, kalau Sarri ingin ngasih kejutan, bisa memainkan Taty Castellanos. Selain itu, Lazio juga masih percaya diri setelah meraih kemenangan atas Cagliari. Sebaliknya, Bayern baru saja kalah telak dari Leverkusen.
Atmosfer Olimpico juga bisa menjadi tambahan pelecut semangat. Namun, yang paling penting adalah Sarri harus bisa menangani masalah mental tim yang diakuinya sendiri. Jika kekuatan kalah, mental tak boleh ikut tertinggal.
Bola itu bulat, tapi Bayern Munchen tetaplah tim kuat. Kalau ingin mengalahkannya, Lazio perlu belajar dari Leverkusen. Atau, kalau tidak ya mudah-mudahan bisa menahan imbang saja. Tapi apakah itu mungkin?
Sumber: Bundesliga, UEFA, FCBayern, ESPN, UEFA, TFA, BFW, BarcaBlaugranes