Naturalisasi bukanlah hal baru bagi sepak bola Indonesia. Cristian Gonzales tercatat sebagai pemain naturalisasi pertama yang memperkuat timnas Indonesia. Gonzales, yang berasal dari Uruguay, berusia 34 tahun saat menerima kewarganegaraan Indonesia.
Ia tercatat pertama kali berseragam Merah-Putih pada Piala AFF 2010. Saat itu, ia sudah tujuh tahun tinggal di Indonesia setelah pertama kali menginjakkan kaki di PSM Makassar pada 2003. Tren naturalisasi tidak berhenti di Gonzales.
Di Sea Games 2011, terdapat Diego Michiels yang dinaturalisasi dari Belanda. Setahun berikutnya, giliran Tony Cussel, Raphael Maitimo, dan Johny van Beukering yang menerima paspor Indonesia. Ketiganya berasal dari Belanda dan diproyeksikan membela Indonesia di Piala AFF 2012.
Sampai di titik ini, proyek naturalisasi yang dilakukan PSSI terlihat bertujuan untuk mendongkrak prestasi timnas di kancah internasional. Semua pemain yang dinaturalisasi diproyeksikan untuk membela timnas di ajang resmi seperti Sea Games atau Piala AFF.
Akan tetapi, belakangan tren tersebut berubah. Naturalisasi disebut dilakukan dengan tujuan mengakali regulasi pemain asing. Klub-klub berlomba-lomba menaturalisasi pemain yang sudah lama tinggal di Indonesia untuk mengubah status mereka menjadi pemain lokal.
Seperti dilansir Bola.com, delapan dari 18 tim yang berkompetisi di Liga 1 2018 diperkuat paling tidak satu pemain naturalisasi. Dari empat tim teratas di klasemen akhir, masing-masing juga memiliki satu pemain naturalisasi.
Di Liga 1 2018, Persija Jakarta memiliki Osas Saha, PSM Makassar punya Guy Junior, Bhayangkara FC mempunyai Herman Dzumafo, sedangkan Persib Bandung diperkuat Victor Igbonefo dan Kim Jeffrey Kurniawan.
Melalui sudut pandang klub, yang dituntut tampil konsisten dalam memburu peringkat liga, status “pemain lokal” yang tersemat dalam “pemain asing” tersebut amat membantu kedalaman tim. Persija, PSM, dan Bhayangkara menjadikan pemain naturalisasi mereka sebagai cadangan striker asing.
Jadi, bila melihat alasan awal naturalisasi sebagai upaya mendongkrak prestasi tim nasional, fenomena naturalisasi oleh para klub saat ini dinilai tak membawa banyak faedah. Pasalnya, hampir semua pemain yang dinaturalisasi telah berusia lebih dari 30 tahun, cuma dipasang sebagai pemain pelapis, serta terlihat sudah habis untuk membela timnas senior.
Dex Glenniza di Panditfootball mengungkapkan, praktik naturalasi merupakan jalan instan karena memiliki banyak keuntungan dan mudah dilakukan, tapi punya dampak negatif, yakni membuat talenta-talenta lokal menjadi tergerus.
Situasi buruk tersebut kurang lebih dapat digambarkan begini: Bhayangkara mempekerjakan Herman Dzumafo yang sudah berusia 38 tahun untuk ditaruh di bangku cadangan. Kariernya sebagai pemain mungkin saja akan habis dalam dua atau tiga tahun lagi. Padahal, bisa saja Bhayangkara memilih menarih pemain muda, sebut saja Dendy Sulistiawan, yang masih berusia 22 tahun dan masih punya masa depan panjang. Namun, demi mengerek performa tim di musim 2018, Bhayangkara lebih memilih Dzumafo alih-alih Dendy.
Jadi, naturalisasi yang dilakukan klub-klub Indonesia termasuk investasi jangka pendek yang minim manfaat bagi sepak bola Indonesia di masa mendatang. Musim ini, fenomena tersebut berlanjut. Fabiano Beltrame yang akan berusia 37 tahun telah dinaturalisasi dan direkrut Persib. Nama-nama lain, Yoo Jae Hoon (35 tahun), Yu Hyun Koo (36 tahun), atau Silvio Escobar (32 tahun) juga menjalani proses naturalisasi di usia senja. Pengecualian terjadi pada kasus Marc Klok, yang masih berusia 25 tahun.
Seperti yang dituturkan pengamat hukum olahraga, Eko Noer Kristiyanto, proses naturalsiasi telah menjadi candu olahrga yang dipraktikkan secara salah kaprah. Fenomena ini merupakan pertanda dari gagalnya pembinaan usia muda oleh banyak klub di Indonesia.
Yang harus dilakukan, daripada menghamburkan uang untuk membantu proses naturalisasi pemain, lantas menggaji mereka dengan mahal, sebaiknya klub-klub mulai menyuntikkan dana untuk menghidupkan akademi, yang manfaatnya bisa dinikmati dalam jangka panjang.