FIFA sedang menggodok peraturan yang hanya memperbolehkan tiap klub untuk meminjamkan pemainnya sebanyak enam sampai delapan per musim. Jika semuanya berjalan lancar, regulasi ini mulai akan diimplementasikan pada musim 2020/21.
Lantas, benarkah sepak bola profesional akan sangat terpengaruh dengan perubahan tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa sebenarnya tujuan utama seorang pemain dipinjamkan. Bila merunut sejarah, sepak bola Inggris di masa paling awal, pada akhir abad 19, menjadi suatu masa ditandai dengan menjamurnya pemain pinjaman.
Karena masih berstatus amatir, setiap klub kadang bisa meminjam pemain semau mereka untuk menempati satu atau dua posisi di klub tersebut. Peminjaman ini bisa berlangsung tiap pekan, apalagi jika hendak melangsungkan pertandingan menentukan seperti play-off promosi atau degradasi. Alhasil, dengan banyaknya pemain siluman yang tiba-tiba membela suatu klub. fenomena itu segera dianggap sebagai perilaku tak sportif. Pada akhirnya, peminjaman pemain dihapuskan dan dilarang sama sekali oleh FA.
Setidaknya itu bertahan hingga perang dunia kedua. Klub-klub profesional yang mati suri berganti jadi klub-klub kedaerahan yang diperkuat oleh pemain-pemain yang sedang merangkap sebagai taruna perang. Akibatnya, banyak “pemain tamu” yang turut bermain di suatu klub. Seusai perang berakhir, klub profesional beroperasi kembali dan peminjaman pemain tak muncul lagi.
Aturan peminjaman baru muncul lagi pada 1966, saat FA memperkenalkan apa yang disebut “transfer temporer/sementara”. Tiap klub diperbolehkan merekrut maksimal dua pemain tanpa biaya transfer, dengan durasi kontrak minimal tiga bulan. Sang pemain lalu kembali ke klub sebelumnya setelah kontrak pendek itu selesai.
Itulah masa awal peminjaman pemain. Tujuannya jelas, untuk menambah kekuatan klub tanpa harus mengontrak pemain secara permanen. Peminjaman pemain bisa juga untuk meningkatkan kapasitas pemain muda, dengan dipinjamkan ke klub yang lebih mungkin memberinya jam terbang.
Dewasa ini, dengan semakin berkembangnya industri sepak bola, fungsi peminjaman bermain berubah. Klub-klub dengan akademi luar biasa seperti Chelsea atau Manchester City dapat memproduksi pemain muda top tiap tahunnya. Mustahil untuk memasukkan mereka semua ke tim utama.
Klub mengakali situasi ini dengan mengontrak mereka secara permanen, lalu meminjamkan pemain-pemain tersebut ke banyak klub. Bertahun-tahun mereka dipinjamkan tapi tak pernah masuk tim utama. Regulasi yang longgar seperti saat ini hanya membuat mereka menjadi pabrik uang klub, sebagai pemain yang siap dijual mahal bila tampil bagus di klub peminjam.
Kita bisa melihat Chelsea. Mereka meminjamkan 39 pemain yang tersebar ke seluruh dunia. Kompetisi Premier League 2, yang seharusnya diisi pemain U-23 dan pemain cadangan, malah diisi pemain-pemain remaja yang lebih pantas bermain di level U-19. Jadi, tim Chelsea yang bermain di liga cadangan tersebut ialah “tim lapis keenam”.
Chelsea, dan klub-klub besar lainnya, memastikan agar pemain-pemain yang mereka pinjamkan dapat memaksimalkan potensi mereka, sehingga ketika mereka sudah mencapai titik tertinggi karier, mereka akan dijual dan menjadi tambahan pemasukan bagi klub.
Regulasi baru FIFA berniat mengubah keadaan ini. Dengan regulasi baru, para pemain muda yang baru mentas dari akademi tak akan dilempar dari satu klub ke klub lainnya oleh klub induk. Klub akan dipaksa memainkan pemainnya, atau membiarkannya memilih jalan karier sendiri.
Pep Guardiola, yang sudah berusaha melibatkan para pemain muda di sesi latihan tim utama, memastikan Manchester City akan beradaptasi dengan regulasi baru. “Kami akan menarik pulang para pemain (yang dipinjamkan) dan akan melihat apakah mereka bisa bermain (di tim utama). Jika mereka tak bisa masuk, kami akan menjual mereka.”
Cita-cita regulasi baru jelas, menghindarkan pemain muda agar tidak hanya dianggap sebagai komoditas jualan semata. Peminjaman yang nantinya dilakukan pun benar-benar diperuntukkan untuk mematangkan pemain agar bisa bersaing di skuad utama tim induk bila masa peminjamannya berakhir.Jadi, apakah regulasi ini juga akan mempengaruhi klub-klub Indonesia? Jujur, sulit menelaahnya karena klub-klub masih terbiasa mengontrak pemain dengan jangka pendek. Kontrak yang kebanyakan berdurasi setahun itu pun masih beresiko diputus di tengah musim jika sang pemain tak sanggup berkontribusi.